Kotabaru adalah permukiman di Kota Jogjakarta yang dirancang untuk hunian bagi para eksekutif perusahaan swasta (awal abad 20). Sekaligus, sebagai bentuk perluasan kota. Sebelum Kotabaru dibentuk, di Jogjakarta sudah dibentuk area permukiman bagi pegawai kereta api (di Bumijo) dan para birokrat pemerintahan Kolonial Belanda (di Bintaran dan Loji Kecil). Kota tumbuh ke arah utara mendekat dengan moda transportasi kereta api.

Desain awal kawasan permukiman swasta asing itu meliputi kawasan yang luas di sebelah timur Kali Code sampai Kali Buntung dan membentang dari Kompleks Dryport Puyangan sampai ke kawasan Bulaksumur dan Sekip (sekarang untuk kampus UGM) di bagian utara. Untuk menuju pusat kota yang berada di sebelah barat Kali Code dibuat dua jembatan yaitu Jembatan Gondolayu dan Jembatan Kewek (dari kata Kerkweg, jalan gereja). Understruckture di kawasan ini sudah terbangun sejak lama sehingga sampai saat ini pun jarang mengalami banjir di saat hujan deras turun.

Di sebelah timur kawasan Kotabaru, mengalir sungai kecil yaitu Kali Buntung dengan mata air di Desa Karangwuni dengan debit sekitar 40 liter per detik, untuk irigasi lahan sawah di sepanjang sungai tersebut. Debit air yang cukup besar itu menjadi sumber utama penyediaan kebutuhan air bagi lokomotif kereta api dengan ditampung terlebih dahulu di Embung Langensari.

Di kawasan yang luas itu ada dua permukiman penduduk yaitu Desa Sagan dan Terban, yang sebagian warganya dipindah ke Desa Barek ketika sebagian desanya digunakan untuk pembangunan real estate zaman dulu. Sebagian besar warga Sagan adalah bakul gudeg di Kota Jogjakarta. Dan kini, anak cucu para bakul tersebut bermukim di Desa Barek dan meneruskan profesi leluhurnya, yang akhirnya dikenal sebagai gudeg mBarek.

Permukiman bagi pebisnis swasta asing tersebut didekatkan dengan stasiun kereta api (Puyangan dan Toegoe) yang dapat dicapai dengan kendaraan standard saat itu. Di antara dua stasiun kereta api itu dipisahkan oleh lembah Kali Code yang sangat luas dan indah dengan lebar sekitar dua ratus hingga tiga ratus meter dan di tengahnya ada aliran Kali Code yang berkelok-kelok. Sekitar 150 tahun yang lalu, Lembah Code sangat indah dan asri sehingga konsep waterfront city digunakan dalam menata permukiman di Kotabaru.

Sungai yang sangat lebar itu, pada mulanya berisi batuan dalam jumlah sangat banyak. Berasal dari kawasan lereng Gunung Merapi yang juga berisi batu-batu (Kawi: sal) sebesar gajah (Kawi: liman). Sehingga, kawasan di lereng itu disebut Sal-Liman yang dengan lidah kekinian disebut Sleman. Konon, batu andesit yang luar biasa banyaknya telah menjadi pondasi Beteng Keraton Jogjakarta, Benteng Vredeburg, dan bangunan kota lainnya.

Lembah Code yang sangat indah hanya cerita masa lalu, tetapi kini telah berubah menjadi kawasan yang kumuh dan penuh sesak dengan bangunan permukiman yang tak indah. Lembah Code yang hijau itu tertutup tembok dan genting yang berwarna merah buram atau tembok berlumut kering. Lembah yang hijau itu pun pernah dijadikan pusat pembuangan sampah di awal Orde Baru berkuasa, yang sejak itu menjadi kawasan yang kumuh dan tak tertata.

Pembentukan Kotabaru sebagai ruang hunian yang eksklusif merupakan bagian kebijakan pemerintah swapraja untuk memfasilitasi kebutuhan investasi di area perkebunan. Investasi saat itu tidak hanya membutuhkan lahan perkebunan dan pabrik beserta istalasinya. Tetapi, membutuhkan jaringan transportasi dan rumah hunian bagi aparatus manajerial juga.

Bahkan, korporasi penunjang perkebunan dan pabrik pun tumbuh dengan baik. Itu termasuk trading, bisnis hiburan, jasa bank, pertokoan, restoran, dan lain-lain. Pihak Keraton Jogjakarta lah yang menyediakan lahan dan diperkenankan dengan menggunakan sistem sewa jangka panjang sehingga para anemer (pemborong/profesi jasa konstruksi) pun tinggal memanfaatkan lahan yang sudah terkaveling dengan baik.

Harga tanah yang murah meriah saat itu dan tersedia dengan luasan berapa pun menjadikan kota-kota di zaman Kolonial Belanda boros dalam pemanfaatan lahan. Keborosan dalam pemanfaatan lahan itulah yang menjadikan banyak kalangan menengah dan atas yang mengidolakan rumah dengan halaman luas, yang sekaligus menjadi status sosial seseorang. Peninggalan era kolonial itu masih terlihat nyata sampai saat ini, yang setiap rumah eks pejabat Kolonial atau pengusaha Belanda tersebut dengan luasan rata-rata seribu meter persegi dengan arsitektur Indis. Hal yang sama akan kita temukan pada rumah para pejabat pemerintah swapraja, para pangeran, bahkan rumah para bupati pun bagaikan istana kecil (puri) yang membutuhkan lahan lebih dari satu hektare.

Kotabaru dengan luasan sekitar 700 hektare adalah ruang hunian modern di zaman dulu, pada awalnya berada di luar kawasan Kota Jogjakarta (lama). Kawasan itu dirancang dengan baik sebagai kawasan hunian eksklusif dengan pola yang sama dengan hunian masyarakat Eropa di berbagai kota bentukan pemerintah Kolonial Belanda. Strategi yang dirancang bagi hunian orang Eropa ini berbeda polanya dengan kawasan hunian eksklusif bagi warga pribumi dan nayaka praja pemerintah Swapraja di selatan Beteng Keraton Jogjakarta maupun perumahan eksklusif bagi masyarakat Tionghoa di kawasan Kranggan dan Jetis.

Pemerintah Kolonial memang merancang kawasan hunian berdasar kelompok rasial karena dalam pemerintah Kolonial dengan sengaja menciptakan regulasi berdasar diskriminasi ras. Hukum yang diskriminatif itulah yang memberi ruang gerak yang berbeda bagi setiap etnis dalam pergerakan sosial maupun ekonomis dengan mengesampingkan hak-hak kaum pribumi. Memiliki rumah di kawasan orang Eropa pun, seorang warga pribumi tidak mungkin meski mereka punya uang untuk membelinya.

Kotabaru di jaman now, benar-benar berada di pusat Kota Jogjakarta, seperti Menteng di Jakarta, Candi di Semarang, Manahan dan Kota Barat di Solo. Tentu tak jauh beda dengan kota lainnya yang dulu menjadi simbol kekuasaan Kolonial Belanda.

Zaman mengalami perubahan cepat, menjadikan pergeseran atas nilai-nilai hunian bagi siapa pun. Kekuatan ekonomi telah mengubah kawasan hunian simbol arogansi rasial itu menjadi lebih populis dan membuka masuknya modal untuk diubah sebagai kawasan bisnis yang lebih menarik. Kalau generasi tua masih berromantika sebagai warisan masa lalu, anak-anak generasi now lebih realistis, Kotabaru bakal mereka ubah menjadi pusat dagang dan jasa-jasa. Arogansi kekuatan modal, dihabisi dengan kekuatan modal juga. Boleh juga kan?! (*/amd/mg1)