GUNUNGKIDUL – Pemasangan alat perekam transaksi (tapping box) di rumah makan bertujuan mengurangi risiko kebocoran pajak. Tetapi kebijakan Pemkab Gunungkidul ditentang karena dalam penerapannya dinilai tebang pilih.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Gunungkidul Nila Sari menerima surat pemberitahuan dari kantor Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) setempat mengenai tapping box kemarin.
“Kami menerima 13 tapping box. Namun semua sepakat keberatan untuk melakukan pemasangan,” kata Nila Sari.
Kata dia, tapping box berbentuk mesin kasir terintegrasi secara online ke kantor BKAD. Melalui mesin perekam transaksi itu pemerintah bisa mengetahui omzet rumah makan.
“Prinsipnya pemakaian tapping box kami setuju. Hanya PHRI keberatan jika hanya dikhususkan bagi 13 rumah makan. Padahal di Gunungkidul jumlah rumah makan beromzet bagus, banyak,” ujarnya.
Oleh sebab itu, setelah melalui musyawarah dengan anggota PHRI, disepakati dalam waktu dekat akan melakukan audiensi dengan bupati. Pertemuan untuk menanyakan secara langsung sejumlah persoalan berkaitan dengan kebijakan pemasangan tapping box.
“Diagendakan audiensi pada Senin 5 Maret mendatang,” ujarnya.
Sementara itu, owner rumah makan Nila Sari Jonathan Rosandy mengatakan pemasangan tapping box konsekuensinya ada pada beban pajak yang ditanggung konsumen.
“Kami khawatir, konsumen pergi dan memilih warung makan lain yang belum dikenai pajak,” kata Jhonatan.
Hitungannya, misalkan harga menu Rp 10 ribu. Karena dikenakan pajak sebesar Rp 10 persen artinya ada tambahan biaya sehingga menjadi Rp 11 ribu. Tentu, situasi demikian membuat pelaku usaha berlabel tapping box merasa dirugikan.
“Kalau semua kompak ayo kita kembangkan pendapatan daerah melalui pajak namun jangan hanya 13 rumah makan saja yang dipasangi tapping box,” kata Jhonatan.
Bersama pelaku usaha rumah makan dia sudah menanyakan persoalan itu ke kantor BKAD. Namun mereka tidak mendapatkan jawaban memuaskan. Hanya disampaikan bahwa jumlah alat tapping box nanti akan ditambah.
“Namun sampai kapan? Apa menunggu tahun depan. Lalu selama satu tahun ini sudah diterapkan kepada kami ke-13 rumah makan,” sesalnya.
Diakui, pemasangan tapping box memang sebelumnya sudah disosialisasikan. Namun jangan sampai 13 rumah makan yang oleh pemerintah mendapatkan ranking lantaran besaran pajak menjadi korban.
“Fungsi alat itu memang menaikkan pendapatan dan menertibkan pelaku usaha. Kami setuju, tapi penerapannya harus dilakukan secara adil,” kata Jhonatan.
Kabid Pendapatan dan Pengawasan BKAD Gunungkidul Mugiyono mengaku sudah mendengar keluhan PHRI tersebut. Untuk itu dalam waktu dekat bakal digelar pertemuan besama dengan bupati.
“Nanti tanggal 5 Maret audiensi pengusaha rumah makan dengan bupati dan pejabat terkait,” kata Mugiyono. (gun/iwa/mg1)