PROSES mendengar dimulai sejak anak dalam kandungan. Mulai usia kehamilan 20 minggu janin sudah bisa memberikan reaksi pada nada rendah. Ketika menginjak usia 35 minggu janin mulai memberikan respons terhadap stimulus bunyi nada menengah dan tinggi.
Keterlambatan dalam memberikan respons terhadap stimulus bunyi terjadi pada bayi dengan berat lahir rendah.
Gangguan pertumbuhan menjadi salah satu faktor yang berperan penting akan terjadinya gangguan respons terhadap stimulus bunyi, yang merupakan tahap awal dari proses mendengar.
Gangguan pendengaran bisa karena bawaan lahir maupun faktor lain yang berhubungan dengan gangguan bicara dan bahasa, prestasi akademik yang buruk, gangguan personal sosial, dan masalah emosi.
Identifikasi gangguan pendengaran dapat dilakukan melalui skrining neonatal, surveilans perkembagan secara reguler, serta berdasar keluhan orang tua terhadap bayi dan anak pada usia perkembangan kritis. Apabila identifikasi gangguan pendengaran dilakukan dengan baik dan teratur, maka dapat mencegah atau mengurangi konsekuensi akibat gangguan pendengaran.
Beberapa kondisi dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan pendengaran. Antara lain, infeksi TORCH selama kehamilan, konsumsi obat tertentu selama trimester pertama kehamilan, bayi terlambat menangis setelah lahir, bayi kuning dengan kadar bilirubin yang sangat tinggi, bayi dalam perawatan di ruang perawatan intensif neonatal, dan bayi yang menggunakan alat bantu nafas ( ventilator) lebih dari lima hari.
Kondisi lain yang juga berkaitan dengan gangguan pendengaran neonatal adalah kelainan kraniofasial. Termasuk abnormalitas morfologis dari daun dan liang telinga, serta riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran jenis saraf (sensorineural) permanen. Ada dua tahapan deteksi dini mengenai hal tersebut. Pertama, dilakukan pada 48 jam pertama kehidupan ketika bayi baru lahir menggunakan otoacoustic emission (OAE). Ini untuk mengetahui kondisi rumah siput ( koklea) yang berguna sebagai sensor terhadap bunyi. Pemeriksaan kedua dilakukan menjelang bayi berusia tiga bulan, melalui OAE diagnostik dan brainstem evoked response audiometry (BERA) untuk mengetahui kondisi saraf pendengaran sampai batang otak. Apabila terdapat gangguan pada saraf pendengaran, maka dilakukan pemeriksaan ASSR (Auditory Steady State Response).
American Academy of Pediatric (AAP) menyarankan, bagi anak dengan satu atau lebih faktor risiko pada asesmen pendengaran sebaiknya dilakukan skrining sesuai perkembangan. Setidaknya sekali pemeriksaan audiologi pada usia 24 – 30 bulan. AAP juga menyarankan identifikasi dan skrining pendengaran secara universal pada anak usia 3 bulan dan permulaan intervensi pada usia 6 bulan. Setiap keluhan orang tua tentang masalah pendengaran buah hatinya harus selalu dianggap serius dan memerlukan skrining pendengaran secara objektif terhadap pasien. Hasil skrining pendengaran harus dijelaskan dengan hati-hati kepada orang tua pasien. Apabila ditemukan hasil “failed” pada pemeriksaan skrining harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan lebih lanjut.
Hasil pemeriksaan abnormal memerlukan penanganan dan rujukan yang sesuai pada otolaringologi, audiologi, genetik, dan intervensi dini.
Yang juga tak kalah penting, infeksi pada telinga juga dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Makanya penting bagi setiap orang menjaga kebersihan telinga. Orang tua dapat menjaga kebersihan telinga buah hatinya di rumah dengan cara membersihkan lekukan telinga menggunakan kain kasa halus yang telah dibasahi dengan baby oil. Bila ada cairan ASI yang masuk ke dalam liang telinga, upaya mengeringkan dapat menggunakan gulungan kecil tisu halus atau kapas kering. Liang telinga yang bersih apabila tidak terdapat kotoran atau serpihan kulit yang menutupi liang telinga.(*yog/mg1)