JOGJA – Tingkat pemerataan pendidikan penyandang disabilitas di DIJ masih cukup memprihatinkan. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) DIJ mencatat sedikitnya 1.692 penyandang disabilitas tidak sekolah. Mereka tersebar di berbagai jenjang pendidikan. Mulai usia prasekolah hingga tingkat menengah. Rinciannya, tingkat prasekolah 125 anak, taman kanak-kanak (119), SD (554), SMP (396), dan SMA/sederajat (498).
Kepala Disdikpora DIJ Kardamanta Baskara Aji menduga, kondisi tersebut disebabkan masih minimnya kesadaran orang tua dan orang terdekat penyandang disabilitas untuk menempatkan mereka di sekolah. “Biasanya karena malu,” ungkap Aji Kamis (26/4).
Meski sosialisasi telah digencarkan, lanjut Aji, masih ditemukan orang tua yang memiliki kesadaran rendah atas pentingnya pendidikan bagi penyandang difabel.
Aji berjanji, jika faktor jarak yang menjadi kendala, Disdikpora siap melakukan sosialisasi hingga pelosok wilayah DIJ untuk penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang disabilitas. Sosialisasi ditujukan bagi tokoh masyarakat setempat, sekaligus untuk kepentingan pendataan. Bila di suatu wilayah terdapat banyak penyandang disabilitas yang belum mengenyam pendidikan, maka di tempat itu akan didirikan sekolah inklusi atau sekolah luar biasa (SLB).
Berdasarkan data Disdikpora DIJ, pada 2016 tercatat 5.176
penyandang disabilitas mengeyam pendidikan SLB. Sementara 2.388 lainnya di sekolah inklusi. “Mayoritas tingkat SD,” kata Aji.
Sementara itu, data Dinas Sosial (Dinsos) DIJ menunjukkan, total jumlah penyandang disabilitas di DIJ mencapai 29.530 orang. Jumlah tertinggi di Gunungkidul, sebanyak 8.594 orang. Disusul Sleman (6.669), kemudian Bantul (6.525), Kulonprogo (5.775), dan Jogja (1.967).
Menurut Kabid Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Pramujaya, masih adanya penyandang disabilitas usia sekolah yang tidak bersekolah bukan hanya soal rendahnya kesadaran orang tua. Tapi juga akibat ketidaktahuan para orang tua tentang model pendidikan bagi difabel. Padahal, klaim Pramujaya, Dinsos selalu melakukan advokasi agar seluruh penyandang disabilitas di DIJ mendapatkan pendidikan yang setara dengan anak-anak seusia mereka. “Bahkan di sekolah reguler pun ada yang sudah menampung (difabel, Red),” katanya.
Di DIJ penyelenggaraan pendidikan inklusi diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif.
Regulasi tersebut menggariskan setiap satuan pendidikan wajib menerima peserta didik berkebutuhan khusus. Dan biaya pendidikan mereka ditanggung oleh pemerintah daerah.
Lebih dari itu, menurut Pramujaya, pemprov juga memberikan hak yang sama bagi para difabel berprestasi. Baik di bidang pendidikan maupun olahraga. (bhn/yog/mg1)