JOGJA – Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X menegaskan pentingnya membangun peradaban manusia. Salah satu langkahnya yakni muhibah budaya,.

“Muhibah budaya merupakan upaya untuk menyelami samudera kebudayaan khususnya kesenian, sebagai upaya membangun peradaban manusia sekaligus sebagai sarana membangkitkan kembali kesadaran bersama untuk mencapai jati diri,” jelas HB X dalam sambutannya dalam Muhibah Budaya Pemprov DIY ke Magetan, Jawa Timur, pada 17-22 April.

Muhibah budaya tersebut diselenggarakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY melalui Dinas Kebudayaan DIY. Temanya adalah Merajut Budaya Mataraman Untuk Indonesia.

Salah satu kesenian yang ditampilkan dalam muhibah budaya ini adalah Tari Bedaya Sang Amurwabumi yang dibawakan sembilan penari. Tarian ini menceritakan masalah Sang Amurwabumi yaitu Ken Arok dan Ken Dedes yang merupakan raja di tanah Jawa.

Bedhaya Sang Amurwabumi merupakan karya pertama Sri Sultan HB X.Tarian yang diciptakan untuk memperingati seribu hari wafatnya Sri Sultan HB IX tersebut syarat dengan simbol dan filosofi Jawa. Dalambedhayaini putri kedua Sri Sultan HB X yakni Gusti Kanjeng Ratu Candra Kirana, turut menari.

Bedhaya Sang Amurwabumi mengandung sepuluhajaran kepemimpinan yang harus dimiliki seorang raja atau tokoh pemimpin dalam menjalankan takhta kepemimpinannya. Ini dikenal dengan Dasa Paramita. Isinya meliputidanaatau kemurahan hati,silatatau laku utama, santun atau ketenangan dan kesabaran,fidyahatau kepemimpinan,dianaatau samadi, kewaspadaan, upayakhausariyahatau usaha,paramidanaatau ketetapan hati,balakekuasaan, dandjuanapengetahuan.

Muhibah budaya ke Magetan dimaksudkan untuk budaya melestarikan Mataraman. Budaya Mataraman adalah budaya Jawa Timuran yang kuat dipengaruhi oleh budaya yang berkembang di Kerajaan Barat Jawa Timur. Yakni, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Madiun, Kota Madiun, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Magetan, Kabupaten Kediri, Kota Kediri, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Blitar, Kota Blitar, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tuban, Kabupaten Lamongan, dan Kabupaten Bojonegoro.

Budaya ini dapat dikenali dalam pemakaian bahasa halus Jawa Krama yang banyak dituturkan di wilayah tersebut. Dalam hal adat dan tradisi pun sangat tidak jauh berbeda dengan adat dan tradisi yang terselenggara di wilayah Jogjakarta dan Solo, wilayah dimana sumber budaya Mataram berada. Begitu juga banyak ragam kesenian yang mempunyai kemiripan dengan kesenian yang hidup dan berkembang di Jogjakarta dan Solo. Di antaranya, kethoprak, wayang purwa, campur sari, tayub, wayang orang, dan berbagai tari yang berkait dengan keraton seperti tari Bedaya Keraton.

Wilayah budaya Mataraman di wilayah Jawa Timur ini menjadi berjarak dan semakin menjauh ketika penjajahan Belanda memisahkan wilayah ini menjadi wilayah kekuasaannya di luar kekuasaan Mataram. Berpijak dari hal tersebut, perlu diracik kembali budaya Mataraman untuk semakin menumbuhkan kembali semangat ke-Indonesia-an.

Muhibah budaya yang dilaksanakan di Magetan ini dimaksudkan untuk mensosialisasikan dan mentransformasi nilai-nilai budaya di wilayah Mataraman sehingga akan melestarikan dan mempererat jalinan budaya Mataraman antara Magetan dan DIY. Selain itu, menumbuhkan semangat ke-Indonesia-an antara Magetan dan DIY.

“Bangsa yang besar yaitu bangsa yang bisa memberikan kehidupan kebudayaan, pendorongan kebudayaan, dan seiring dengan perdaban bangsa. Mudah-mudahan acara yang diprakarsai oleh Gubernur DIY ini dapat memberikan inspirasi yang luar biasa khususnya untuk Jawa Timur yang memiliki budaya Mataraman”, ujar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur Dr H Jarianto MSi.

Selain menampilkan Bedhaya Sang Amurwabumi, muhibah ini juga disemarakkan beberapa kegiatan. Yakni, pameran budaya, pemutaran film,workshoptari, sarasehan, dan pergelaran wayang kulit semalam suntuk dengan Dalang Ki Edi Suwondo.(sce/amd/mg1)