JOGJA – Bukan perkara mudah untuk merawat masjid yang sudah berusia 245 tahun agar tetap nyaman dan khusyuk beribadah. Hal itu yang diupayakan takmir Masjid Gede Kauman Jogja, dengan membersihkan ornamen masjid yang sebagian besar masih orisinal sejak dibangun.
“Dengan masjid bersih menjelang Ramadan, semoga jamaah nanti tetap nyaman dan khusyuk beribadah,” ujar Penasehat Takmir Masjid Gede Kauman Jogja Abunda Farouq di sela Gugur Gunung atau bersih-bersih masjid Minggu (13/5).
Menurutnya, Gugur Gunung itu rutin dilakukan menjelang masuknya bulan Ramadan dengan melibatkan takmir serta warga masyarakat Kauman. “Sekaligus untuk silaturahmi. Warga Kauman kan yang diberi amanat Keraton Jogja mengelola masjid,” tambahnya.
Kegiatan ini di antaranya membersihkan ornamen lampu, hingga blandar kayu masjid serta mengepel lantai. Untuk karpet yang menempel di bagian dalam masjid, secara rutin dua minggu sekali dibersihkan dengan vacuum cleaner.
Untuk karpet yang terpasang saat ini sudah ada sejak 2006, menggantikan karpet hadiah dari Kerajaan Arab Saudi yang dipasang sejak 1991. “Yang sekarang dipasang ini pengadaan sendiri,” ungkap mantan ketua Takmir Masjid Gede Kauman 1994-2004 itu.
Farouq menambahkan, sebagai masjid yang berdasarkan tetenger di depan masjid dibangun pada 29 Mei 1773 dan ditetapkan sebagai cagar budaya pada 1931, bukan perkara mudah merawatnya. Untuk mengganti satu bagian yang rusak saja harus lapor hingga ke badan PBB yang mengurusi kebudayaan, UNESCO, selain ke Keraton Jogja.
Farouq mengisahkan belum lama ini ada bagian kayu yang mentiung. Sudah dilaporkan dan oleh Raja Keraton Jogja Sultan Hamengku Bawono ka 10 disarankan mengambil kayu dari Gunungkidul. Untungnya bersamaan Kepatihan sedang dipugar dan kayunya bisa untuk mengganti. “Usia kayunya sama,” tuturnya.
Meski sudah berusia 245 tahun, Farouq mengaku masjid yang juga sering disebut Masjid Kagungan Dalem Keraton Jogja ini masih kuat. Hal itu berdasarkan penelitian dari tim UGM pada 2004 lalu. Tahun itu juga terakhir kali masjid di barat Alun-Alun Utara Jogja diperbaiki. “Kayu-kayu yang ada di dalam ada indikasi rapuh, maka diikat dengan besi,” tuturnya.
Menurut dia saat renovasi terakhir 2004 lalu, pada ukiran di tiang-tiang masjid juga dicat ulang. Bahkan untuk warna emas, Farouq mengaku oleh pemborong saat itu dicat dengan emas asli. Selain itu juga dicat dengan warna khas Keraton Jogja, yaitu merah, kuning dan hijau. “Dari Keraton kabarnya sempat agak kurang sreg, karena ada yang dicat biru. Katanya itu khas Solo,” tuturnya. (pra/laz/mg1)