SLEMAN – Fenomena klithih di Jogjakarta ternyata bukan hal baru. Penelitian sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) Julianto Ibrahim menunjukkan, klithih tak bisa dilepaskan dari “budaya” kekerasan yang telah berlangsung lama oleh kaum kriminal. Menurutnya, klithih menjadi salah satu bagian dari perjalanan banditisme di Indonesia. Bukan hanya di Jogjakarta. Budaya kekerasan itu diawali oleh jagoan grayak pada 1945-1955-an. Yang bermetamorfosis menjadi gali sekitar 1965-1984.
“Fenomena gali di Jogja pada 1980-an cukup mengerikan. Sampai muncul nama pentolan terkenal seperti Kintoko. Hingga dibunuhnya seorang anak jenderal, yang ternyata si anak juga seorang gali,” ungkap Julianto di sela diskusi masalah dan solusi klithih di Fakultas Ilmu Budaya UGM Kamis (12/7).
Ulah para gali ketika itu sangat meresahkan masyarakat. Maka muncullah penembak misterius alias petrus yang memburu dan menembak mati para gali. Julianto menyebut, “dunia gelap” di Jogja saat itu tidak ada tuannya. Sehingga di generasi berikutnya munculah geng yang dibuat anak-anak SD dengan nama Cethol. Seiring bertambahnya usia, geng tersebut kemudian dikenal menjadi Joxzin alias Pojox Benzin. Label ini sesuai markas mereka di sebuah warung bensin kawasan Pojok Beteng. Belakangan, akronim Joxzin berubah menjadi Joko Zinting.
Dosen Ilmu Sejarah UGM ini menjelaskan, Joxzin berbasis di Kota Jogja bagian selatan. Meliputi siswa sekolah di kawasan Ngampilan, Wirobrajan, Kotagede, dan Karangkajen.
“Yang menarik, tiap mau tempur mereka datang ke Krapyak menemui kiai untuk minta doa. Lalu konvoi dengan motor dengan knalpot warna hijau yang menjadi ciri mereka. Lalu coret-coret tembok,” paparnya.
Geng berikutnya Qizruh. Geng ini menjadi saingan Joxzin. Qizruh dibentuk oleh seorang anak tentara bernama Darto. Markasnya di sebelah Mal Galleria, area bekas bioskop President. Jika Joxzin berbasis di selatan, Qizruh mewadahi anak-anak SMA Jogja sebelah Utara. Saat konvoi, ciri motor mereka dicat putih dan hitam.
Kedua geng besar ini berlomba-lomba melakukan aksi kriminal. Karena ada jenjang karir di situ untuk menjadi mitra partai politik. Joxzin mengarah ke Partai Persatuan Pembangunan. Sedangkan Qizruh berafiliasi ke Pemuda Pancasila yang terbagi ke Partai Golkar dan PDI Perjuangan. “Biasanya mereka jadi tukang parkir kalau partai punya acara. Atau menjadi pasukan keamanan,” tambah Julianto.
Pada akhir 1987 terjadi tawuran besar antara dua geng itu di sekitar Jalan Solo. “Ada anak jenderal yang terluka, kemudian Joxzin dan Qizruh dibubarkan,” lanjutnya.
Nah, setelah kedua geng tersebut tidak aktif, aktivitas geng mulai masuk ke sekolah-sekolah. Khususnya di Jogja, Bantul, dan Sleman. “Di sekolah membentuk geng sendiri dengan tugas yang terorganisasi. Ada ketua, penggerak, bendahara, koordinator, juru bicara, dan lain-lain,” katanya.
Perang antarsekolah berupa tawuran sering terjadi pada 1995 – 2000-an. Kemudian mulai marak kembali 2010. Hampir setiap minggu ada geng sekolah yang tawuran.
Dikatakan, klithih yang dikenal sekarang sebenarnya hanya salah satu istilah dari rangkaian kegiatan geng. Julianto mengatakan, klithih berarti konvoi keliling kota melewati wilayah musuh untuk memberi isyarat mengajak tawuran. Konvoi dilakukan menggunakan motor yang masing-masing dinaiki dua orang, jongki dan pembonceng. Dengan formasi barisan motor 2-2.
Ada pula yang disebut ngetem, yakni membagi rombongan menjadi dua. Sebagian kelompok menunggu di lokasi tawuran. Sisanya memancing musuh untuk digiring ke lokasi tawuran.
Ketika tawuran muncul istilah gembyeng. Anggota geng turun dari motor dan saling berkelahi dengan senjata tajam atau melempar batu. Sedangkan proses tawuran yang masih dilakukan di atas sepeda motor disebut tempuk motor. “Terkadang mereka kalau mau tawuran itu janjian dulu. Ayo gelut kapan, di mana,” ujar Julianto.
Fenomena itu lambat laun mulai luntur seiring maraknya kegiatan pelajar di luar sekolah berunsur positif. Seperti kompetisi olahraga atau les bimbingan belajar. Ini membuat geng susah mencari musuh di sekolah. Karena itu mereka lantas menyasar siapa saja yang ditemui di jalan.
“Cari musuh kok nggak ketemu, akhirnya nglithih ke tempat les (musuh, Red) atau tempat main. Sasarannya jadi bisa siapa saja,” jelasnya.
Sementara itu, menghadapi fenomena klithih Kapolresta Jogja menyatakan terus mengintensifkan pembinaan siswa di sekolah-sekolah sebagai upaya preventif. Tahun ajaran baru ini dinilai sebagai momentum yang tepat. “Agar para siswa baru tidak menjadi sasaran empuk untuk rekrutmen anggota geng,” tegasnya. (tif/yog/fn)