Daerah Istimewa Yogyakarta adalah bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kedudukan istimewa di di negeri ini.
Daerah Istimewa Yogyakarta ada sejak 19 Agustus 1945. Tonggaknya adalah Piagam Kedudukan yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia berselang dua hari usai Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Piagam tersebut ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Ir Soekarno. Piagam itu diserahkan kepada Raja Kasultanan Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Pakualaman Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Paku Alam VIII.
Piagam ini memiliki makna sebagai bentuk penghargaan atas sikap Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII. Mereka menyatakan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman dengan Republik Indonesia.
Presiden Soekarno menyerahkan dua piagam yang diterbitkan dia Jakarta pada 19 Agustus 1945. Masing-masing untuk Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII.
Piagam untuk Sri Sultan Hamengku Buwono IX:
”Kami Presiden Republik Indonesia, menetapkan: Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati ing Ngalaga Abdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Kaping IX ing Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya, dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kanjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai bagian dari Republik Indonesia.”
Piagam Kedudukan untuk KGPAA Paku Alam VIII:
”Kami Presiden Republik Indonesia, menetapkan: Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam VIII Ingkang Kaping VIII, pada kedudukannya, dngan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kangjeng Gusti akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga, untuk keselamatan Daerah Pakualaman sebagai bagian daripada Republik Indonesia.”
Piagam tersebut merupakan pengakuan bahwa kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII dinyatakan dan ditetapkan sebagai penguasa dwitunggal di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka tak sekadar menjadi penguasa. Dwitunggal Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII pun menjadi panutan, pemimpin, dan pengayom bagi masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sikap Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam mendukung lahirnya Republik Indonesia sangat tegas. Piagam tersebut lahir tak lama usai Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirimkan telegram ucapan selamat sekaligus dukungan atas Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Telegram itu dikirimkan secara khusus kepada Presiden Soekarno.
Sejak awal, berdasar keterangan di situs kratonjogja.id, Kraton Yogyakarta terikat dengan kontrak politik dengan pemerintah kolonial Belanda. Setiap calon sultan yang hendak naik takhta wajib direstui dan bersedia menandatangani kontrak politik dengan pemerintah kolonial. Hal ini diterapkan pemerintah kolonial dengan tujuan agar Yogyakarta tetap dalam kendali kekuasaan mereka.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX punya sikap sendiri. Ketika hendak dinobatkan sebagai raja, beliau kukuh menghendaki agar pengaruh kekuasaan kolonial berkurang. Bahkan, jika memungkinkan, pengaruh kolonial hilang sepenuhnya dari lingkungan Kasultanan Yogyakarta.
Ada tiga tuntutan yang diajukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Pertama, tidak setuju jabatan patih merangkap sebagai pegawai kolonial. Kedua, menolak penasihatnya ditentukan oleh kolonial Belanda. Ketiga, menolak permintaan agar pasukan Kasultanan Yogyakarta mendapat perintah langsung dari pemerintah kolonial.
Akhirnya, kontrak tersebut ditandatangani setelah beliau mendapat ilham bahwa kekuasaan Belanda di Jawa akan berakhir. Meski demikian, beliau tetap teguh pada pendiriannya.
Sikap ini juga tecermin dalam pidato Sri Sultan Hamengku Buwono IX saat acara penobatan yang dilaksanakan 18 Maret 1940. ”Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, tetapi pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa.”
Dalam pidatonya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga menegaskan komitmen dan cintanya kepada bangsa. ”Izinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memenuhi kepentingan nusa dan bangsa.” Janji ini yang kemudian selalu beliau taati dan penuhi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Ketika waktu terus bergukir dan penjajah Jepang menguasai Indonesia usai Belanda takluk, sikap Sri Sultan Hamengku Buwono IX tak berubah. Selama pendudukan Jepang pada 1942 hingga 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX tidak mau tunduk. Beliau hanya bersedia ditemui oleh pimpinan penjajah Jepang di kantor. Sikap ini berbeda engan raja-raja lainnya. Banyak pihak menilai beliau bersikap menutup diri dari kemungkinan bekerja sama dengan penjajah Jepang. Namun, sesungguhnya, beliau sedang menerapkan strategi politik diplomasi yang halus dengan tetap menjaga posisi dan wibawa sebagai penguasa Jawa. (*/amd/mg1)