Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan kabar gembira. Tak terkecuali bagi Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Usai menyimak proklamasi tersebut, beliau mengambil langkah untuk mengirim telegram ucapan selamat dan pernyataan dukungan terhadap Republik Indonesia. Ucapan tersebut dikirimkan bersama KGPAA Paku Alam VIII.
Tak lama berselang, sekitar tiga pekan usai Proklamasi Kemerdekaan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirimkan surat istimewa. Surat tersebut merupakan maklumat yang menerangkan bergabungnya Kasultanan Jogjakarta dengan pemerintah Republik Indonesia.
Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:
- Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
- Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.
- Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan amanat Kami ini.
Ngajogjakarta Hadiningrat,
28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945
Pernyataan Kasultanan Jogjakarta diterima dengan suka cita oleh pemerintah RI. Meski demikian, kolonial Belanda yang masih berniat menguasai Indonesia, menempuh berbagai aksi militer untuk kembali menjajah. Keadaan ini membuat para pemimpin Indonesia mengalami kesulitan dalam menjalankan roda pemerintahan yang berpusat di Ibukota Jakarta.
Situasi itu direspons Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan mengundang para pemimpin Republik Indonesia pada Januari 1946. Beliau berinisiatif memindahkan pusat pemerintahan Republik Indonesia ke Jogjakarta. Para pemimpin Republik Indonesia menuju Jogjakarta. Mereka menaiki kereta api pada malam hari dan tiba di Jogjakarta dengan selamat.
Atas usul Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Jogjakarta pun dijadikan sebagai ibu kota Republik Indonesia. Selama pemerintahan berpusat di Jogjakarta, seluruh biaya operasional, akomodasi, hingga gaji pejabat negara Indonesia ditanggung sepenuhnya oleh Kasultanan Jogjakarta.
Kolonial Belanda terus berusaha merongrong kemerdekaan Indonesia. Para pemimpin Indonesia tak bersedia takluk. Berbagai perundingan digelar. Persetujuan gencatan senjata pun disepakti.
Pada 21 Juli 1947, kolonial Belanda melanggar perjanjian yang telah disepakati. Mereka melancarkan serangan militer untuk menguasai Indonesia. Peristiwa ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I. Rakyat dan tentara Republik Indonesia melawan dengan gigih.
Perundingan kembali disepakati. Tapi, kolonial Belanda kembali ingkar dan melancarkan serangan pada 19 Desember 1948. Serangan ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II.
Serangan itu membuat Jogjakarta jatuh ke tangan kolonial Belanda. Perang gerilya terus dilancarkan pejuang Indonesia. Salah satunya dipimpin Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Presiden Soekarno dan sejumlah pejabat tinggi negara ditawan oleh kolonial Belanda. Mereka dibuah di berbagai daerah di luar Pulau Jawa.
Pemerintahan Republik Indonesia mengalami kekosongan kekuasaan. Sultan Hamengku Buwono IX akhirnya mengisi kekosongan tersebut. Beliau menjalankan roda pemerintahan dari Jogjakarta.
Kolonial Belanda menganggap para pemimpin Indonesia yang ditawan Belanda akan membuat Sultan Hamengku Buwono IX lemah. Kolonial Belanda menawarkan jabatan sebagai kepala negara Jawa yang kekuasaannya meliputi seluruh Jawa dan Madura. Sebuah cakupan wilayah yang melebihi kekuasaan Mataram sekalipun.
Tawaran yang diajukan kolonial Belanda ini sama sekali tidak digubris Sultan Hamengku Buwono IX. Beliau tetap teguh pada Indonesia.
Secara politik, Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII meletakkan jabatan mereka sebagai gubernur dan wakil gubernur selama masa pendudukan kolonial Belanda ini. Langkah ini diambil sebagai wujud pernyataan bahwa segala sesuatu yang terjadi di Jogjakarta adalah tanggung jawab pemerintah kolonial Belanda sebagai penguasa.
Sultan Hamengku Buwono IX yang berada di dalam Kasultanan Jogjakarta tak tinggal diam. Beliau terus mengatur perlawanan terhadap kolonial Belanda.
Strategi perlawanan disusun untuk kemudian disebarkan secara rapi ke seluruh penduduk Jogja dan para tentara yang bergerilya. Pada saat inilah, beliau menyampaikan instruksi kepada para pegawai Pamong Praja supaya membantu perjuangan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada saat genting ini pula, Panglima Besar Jenderal Soedirman memberikan Perintah Kilat Nomor 1/PB/D/48. Inti dari perintah kilat ini adalah perubahan strategi perlawanan liniar menjadi strategi perlawanan gerilya. Pasukan Republik Indonesia menarik diri dari dalam kota menuju desa-desa untuk mendirikan basis perlawanan.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX terus memantau perkembangan situasi melalui radio. Beliau menerima informasi bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan melaksanakan sidang yang salah satunya membahas masalah Indonesia-Belanda pada akhir Februari 1949. Pada saat bersamaan, pemerintah kolonial Belanda mengundang wakil-wakil negara Komisi Tiga Negara (KTN) menyaksikan kondisi Jogjakarta dan membuktikan klaim mereka bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX lantas menyusun strategi. Beliau menggagas TNI melakukan serangan besar-besaran untuk membuktikan kesalahan klaim pemerintah kolonial Belanda. Beliau mengirim surat kepada Panglima Jenderal Soedirman melalui kurir. Panglima Soedirman kemudian mengutus Letkol Soeharto untuk membahas lebih detail mengenai rencana serangan tersebut.
Secara rahasia, Letkol Soeharto yang menyamar sebagai abdi dalem dibawa menghadap Sultan Hamengku Buwono IX di Kasultanan Jogjakarta. Pembicaraan tersebut menghasilkan keputusan melakukan serangan besar-besaran pada 1 Maret 1949. Tepat setelah sirine pukul 06.00 sebagai tanda berakhirnya jam malam berbunyi, prajurit TNI bersatu padu dengan polisi, Tentara Pelajar, dan Laskar Rakyat serentak melakukan serangan. Serangan berlangsung sekitar enam jam. Pukul 12.00 serangan dihentikan karena tujuan politis dari serangan ini telah tercapai.
Serangan itu dikenal sebagai Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Serangan itu berhasil dan diketahui oleh PBB. Serangan itu menunjukkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih tegak berdiri.
PBB pun bersikap. PBB akhirnya memutuskan mengembalikan pemerintahan Republik Indonesia ke Jogjakarta dan menyelenggarakan Konferensi Den Haag untuk penyelesaian akhir.
Kolonial Belanda masih berusaha menguasai Jogja. Belanda berniat menyerbu Kasultanan Jogjakarta setelah pasukan mereka dari Magelang dan Semarang tiba di Jogja. Mereka mengarahkan moncong-moncong tank ke arah Kasultanan Jogjakarta, persis di depan pintu keraton. Mereka menuduh ada tembakan dari arah Kasultanan Jogjakarta.
Sultan Hamengku Buwono IX tak gentar. Beliau menyatakan tuduhan tersebut tidak benar. Bahkan, beliau mempersilakan tentara Belanda untuk memeriksa.
“Sebelum Belanda datang, Jogjakarta sudah teratur. Kalau sekarang menjadi kacau, mengapa saya yang harus memperbaiki? Kalau Tuan-Tuan ingin memperlakukan keraton seperti ketika tentara Belanda merampas semua arsip-arsip saya di Kepatihan, lebih baik bunuh saya terlebih dahulu.” Demikian penegasan Sultan Hamengku Buwono IX.
Pasukan Belanda tidak berkutik. Mereka kemudian menarik mundur pasukannya.
Setelah itu, diselenggarakan perundingan antara pemerintah Indonesia dan Belanda. Perjanjian itu yakni Roem-Roijen. Perjanjian ini menegaskan penyerahan kembali pemerintahan Indonesia ke Jogjakarta. Saat itu Presiden Soekarno memberikan mandat kepada Sultan Hamengku Buwono IX untuk memegang tampuk kekuasaan. Surat penetapan ini bertanggal 1 Mei 1949 di Bangka.
Sultan Hamengku Buwono IX sebagai kepala negara merapikan kembali struktur organisasi pemerintahan dan membangun kembali Kepolisian Negara. Beliau juga mengatur penarikan mundur pasukan Belanda serta mempersiapkan penyambutan kembalinya pemimpin-pemimpin Republik Indonesia yang ditawan. Termasuk kedatangan Panglima Besar Jenderal Soedirman yang kembali dari gerilya. (*/amd/mg1)