Ada mekanisme khusus untuk pengalihan hak atas tanah dan bangunan. Urusan pengalihan hak atas tanah dan bangunan terkait erat dengan perpajakan.

Pengalihan hak atas tanah dan bangunan memiliki aturan tersendiri. Pengalihan tidak sekadar terkait harga, lokasi, dan kepemilikan tanah atau bangunan.
Pengalihan juga terkait dengan perpajakan. Urusan terkait pajak ini sering menjadi persoalan.
Sebagian masyarakat belum memahami hal ini. Ada banyak masyarakat yang belum mengerti apakah pengalihan hak atas tanah dan bangunan bakal dikenai pajak dan berapa besarannya.

Kepala Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan (MEP) UGM Jogjakarta Akhmad Makhfatih mengatakan, selama ini terdapat banyak masalah dalam pengelolaan perpajakan terkait pengalihan hak atas tanah dan bangunan. “Bahkan, anggota dewan belum paham sepenuhnya tentang bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB),” kata dia beberapa waktu lalu.
Selain itu, aparatur negara juga belum memiliki kemampuan untuk mengelola BPHTB. Utamanya dalam hal validasi.
Akhmad menyebutkan, belum seluruh masyarakat memahami siapa-siapa yang berhak untuk membayar pajak. “BPHTB itu dikenakan kepada pembeli. Yang bayar itu pembelinya,” katanya.

Objek dari BHPTB, kata Akhmad, merupakan perolehan atas hak tanah dan atau bangunan. Hal itu merupakan segmen yang sensitif di masyarakat. Dia mengingatkan agar pengelolaannya dilakukan secara hati-hati.
Menurutnya, dalam hal ini yang dinyatakan sebagai subjek BHPTB adalah pribadi atau badan. Faktor yang menjadi dasar pengenaan bea tersebut adalah nilai perolehan objek pasar, nilai transaksi dan pasar, serta nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP).
Nilai NPOPTKP di setiap daerah memiliki besaran yang berbeda. Di beberapa daerah semisal Jawa Barat, Banten, dan Jakarta telah menyentuh angka sekitar Rp 60 juta.

“Namun, bisa berpotensi lebih dari itu,” jelasnya.
Lebih lanjut Akhmad menyatakan, transaksi berupa hibah wasiat dan segaris juga diatur. Setidaknya, nilainya berkisar antara Rp 300 juta. “Untuk tarif BPHTB paling tinggi 5 persen,” jelasnya.
Dia melihat, wakil rakyat yang memikiki kewenangan membuat regulasi terkesan angat ”emosional” ingin mendapatkan BPHTB setinggi mungkin. Sebab, jika dilihat, nilai transaksi merupakan nilai pasar.
“Masyarakat itu ada yang namanya pajak. Siapa yang bayar tinggi. Ini sudah jadi kodrat alami,” tegasnya.

Kewajiban membayar pajak ini kemudian coba ”disiasati” oleh masyarakat yang menjadi subjek pajak. Cara yang kerap ditempuh adalah menempuh tax evasion atau usaha menghindari pajak yang terutang secara ilegal. Langkah ini dapat ditempuh jika subjek pajak mempunyai alasan meyakinkan bahwa akibat perbuatn tersebut kemungkinan besar idak akan dihukum. Biasanya, subjek pajak melakukan tax evasion lantaran penghasilan yang diperoleh diutamakan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Untu itu, subjek pajak terkait pengalihan hak atas tanah dan bangunan tidak perlu melakukan langkah-langkah penggelapan pajak. “Masyarakat harus jujur melaporkan yang sebenarnya untuk menghindari paparan apapun,” pintanya.
Ditemui terpisah, notaris Nurhadi Darussalam menyebutkan, manusia memiliki kecenderungan untuk menggelapkan pajak. Dalam urusan pajak, masyarakat sering berpegangan pada azas tidak ada pajak tanpa undang-undang.
“Pajak tanpa undang-undang adalah perampokan,” kata Nurhadi.
Dia pun meminta kepada pemerintah untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialiasikan penting dilaksanakan untuk lebih mengenalkan perihal pajak ke masyarakat.

Selain itu, dia meminta pemerintah untuk membuat peraturan yang mengatur masalah ini. “Belum ada peraturan perundangan yang mengatur zonasi tanah. Zonasi harga tanah,” jelasnya. (har/amd/mg1)

GRAFIS: HERPRI KARTUN/RADAR JOGJA