Sering kali para perencana hunian modern lebih memperhatikan aspek komersial dari pada kebutuhan dasar sebuah kawasan hunian. Bagi para pengembang, luas lahan sekecil apapun adalah bagian dari cost of productions yang harus tetap dibebankan pada setiap unit rumah yang terjual.
Setiap elemen dalam sebuah rumah hunian terkandung ongkos produksi, dan sekaligus keuntungan bagi para pengembang, dan tentu pungutan pajak yang banyak jenisnya baik pajak daerah maupun pusat. Itulah sebabnya para pengembang harus hati-hati dan cermat dalam berhitung untuk membuat kalkulasi harga rumah yang dijualnya.
Kawasan yang luas (mencapai ratusan hektare) diubah menjadi hunian mewah yang disebut sub-urban, untuk menciptakan kenyamanan bagi penghuninya. Di daerah perkotaan, ada pula yang membentuk hunian kluster dengan luas lebih kecil namun berada di lokasi strategis.
Bilamana harga lahan mahal lantaran berada di tengah kota, pengembang punya alternatif membangun apartemen dalam bentuk hunian vertikal. Tentu saja masih banyak variasi hunian warga kota seperti town house, ada pula variasi hunian bagi golongan superkaya yang harga jualnya mencapai puluhan miliar rupiah.
Di tengah hunian kelas atas inilah semua kebutuhan fasilitas umum dan fasilitas sosial dapat dipenuhi karena konsumen pun menuntut agar semua persyaratan yang ditetapkan pemerintah setempat dipenuhi. Jalan yang lebar, taman hunian, fasilitas olahraga, ruang terbuka hijau, dan lain-lain.
Mereka menyadari kadang kala dalam suatu lokasi menghadapi berbagai ancaman yang datang dari alam seperti gempa bumi, angin puting beliung, dan lain-lain, yang tentu semua itu harus dipersiapkan antisipasinya. Taman dan ruang terbuka sangat diperlukan untuk aktivitas kolektif penghuninya. Ruang terbuka hijau sangat dibutuhkan sebagai lokasi penyelamatan kolektif bila terjadi gempa atau ancaman alam lainnya.
Kondisi itu akan jauh berbeda dengan kawasan perkampungan di kawasan kota. Rumah yang saling berhimpit dan tak tersedia ruang terbuka membawa dampak negatif bila menghadapi guncangan gempa.
Kampung pada umumnya hanya didukung oleh jaringan gang sempit dengan tembok bangunan rumah maupun pagar akan berpotensi menjadi ancaman disaat gempa berlangsung. Meskipun gempa bumi hanya berlangsung dalam hitungan detik, semua bahan bangunan yang runtuh atau jatuh dapat mencederai, bahkan dapat menewaskan manusia yang berada di bawahnya. Genting yang terbuat dari semen, dengan berat lebih satu kilogram, dapat menjadikan seseorang gegar otak dan tewas bila menimpa kepala.
Gempa bumi adalah kejadian yang seharusnya diantisipasi oleh manusia yang tinggal dan menetap di belahan bumi rawan gempa. Seharusnya setiap keluarga, dan tentunya di bawah regulasi bangunan yang ketat, tidak membangun dengan menggunakan bahan bangunan yang berpotensi mencederai dirinya sendiri. Tentu diharuskan menggunakan teknik bangunan yang memenuhi persyaratan tahan gempa serta diawasi dan diberikan guidance yang semestinya. Sehingga, tak semestinya rumah yang tak berstandar tahan gempa boleh didirikan.
Peristiwa gempa bumi dengan skala besar memang jarang terjadi. Tetapi, setiap gempa skala besar tersebut membuat manusia pada umumnya mengalami kepanikan yang amat sangat. Berlarian ke sana ke mari sambil berteriak-teriak adalah ciri khas orang yang tak terlatih menghadapi gempa bumi.
Dalam kepanikan rasionalitas seseorang menjadi sirna. Ada yang justru lari masuk rumah mengambil barang berharga. Ada yang teriak manggil anak. Semuanya itu justru menjadikan seseorang mendekati objek yang bergoyang dan sesaat kemudian runtuh.
Fakta bahwa sebagian besar korban adalah warga masyarakat yang tidak terlatih dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan, kecuali hanya teriak saja. Ketika dalam hitungan detik gempa berhenti, barulah mereka sadar dan nalarnya mulai jalan.
Sering kali dalam merancang sebuah kawasan hunian, persoalan psikologi sosial tersebut tidak memperoleh perhatian yang cukup memadai. Di tengah kawasan kampung jarang ditemukan ruang terbuka atau taman kolektif, yang sebenarnya sangat dibutuhkan untuk menjadi titik kumpul bagi semua warga bilamana alam sedang menggoda. Di tempat terbuka itulah seluruh warga dilatih dan jadi tempat berkumpul saat gempa sehingga setiap warga paham dan sadar apa yang harus dilakukan saat gempa berlangsung dalam beberapa detik tersebut.
Banyak taman-taman kota dan lapangan kecil untuk aktivitas sosial, sering kali tak terjaga dengan baik dan justru dibiarkan beralih fungsi menjadi lahan bisnis korporasi besar. Taman kota itu memang mahal bilamana perlu harus dibeli. Namun, sering kali diabaikan karena setiap hari keberadaannya dianggap tidak ada manfaatnya. Padahal, ruang-ruang terbuka itulah satu-satunya lokasi untuk menyelamatkan manusia yang mengalami kepanikan.
Taman kota itu bukan saja tempat rekreasi. Tetapi, juga sebagai situs penyelamatan manusia. Sehingga, tak dibolehkan bagi hunian liar atau kepentingan lainnya. Oleh karena itu, ruang terbuka semacam ini haruslah ada pada setiap kawasan permukiman baik yang dibentuk para pengembang maupun pemerintah daerah.
Dalam pandangan banyak orang awam, setiap kejadian yang menghancurkan dan menewaskan orang akan selalu dianggap sebagai bencana alam. Bahkan, acap kali dianggap sebagai kutukan yang ”bahureksa” pada situs kejadian bencana. Istilah itu sendiri muncul, justru untuk menegaskan sisi ketidakmampuan si manusia memahami perilaku alam dan antisipasi yang harus dilakukan. Mungkin, jikalau setiap gempa yang terjadi diperlakukan sebagai peristiwa alam biasa yang harus diatasi, setiap warga masyarakat dapat bersikap tenang, sigap, dan bijak dalam mengantisipasi dengan tenang.
Tentu saja bila cara pandang pemerintahan pun sama, siapapun pejabat negara yang bertugas pada suatu daerah rawan gempa akan merasa bertanggung jawab untuk mengantisipasi dengan kebijakan yang lebih terarah untuk mengupayakan antisipasi terhadap sifat destruktif gempa bumi. Sejak dulu kala pemerintah pun telah mengakui istilah bencana alam. Bahkan, telah diakomodasi dalam aturan formal.
Wajar kalau banyak pemerintah daerah tak memikirkan upaya protektif menghadapi semua ancaman alam. Aturan formal yang pada dasarnya adalah pengakuan ketidakmampuan mempersiapkan dengan baik semua infrastruktur hunian tersebut, menjadi ampuh untuk berlindung dari tanggung jawabnya sebagai pemimpin puncak organisasi pemerintahan di daerah. (*/amd/mg1)