Tahun 2000, saya diajak Dinas Perlindungan Masyarakat Sleman untuk menyaksikan pelatihan menghadapi erupsi Gunung Merapi yang diprediksi akan terjadi di Januari 2001. Dalam kediaman menyaksikan pelatihan itu, saya hanya memikirkan kasihan mbah-mbah yang sudah tua renta itu diajak berlari-lari mengikuti instruksi para pelatih di lapangan.
Mereka lari terbirit-birit ketika kentongan dibunyikan bertalu-talu, dan banyak yang jatuh dan kejlungup pula. Kadang ada perilaku yang menggelikan, disuruh ke barat malah ke timur: bingung.
Setelah latihan itu selesai, para pejabat atasan, saya tegur. ”Apa kalian nggak kasihan melatih orang-orang yang sudah tua renta seperti latihan yang kalian terapkan itu?” Tentulah tidak ada yang berani menjawab, dan hanya pada menundukkan kepala. Meski dalam pikiran saya pun tetap memikirkan bagaimana cara terbaik untuk menyelamatkan warga terhadap setiap ancaman alam yang saya tahu pasti terjadi dan sulit untuk dihindari.
Beberapa tahun kemudian, setelah berkali-kali memimpin penanganan bencana alam di Sleman, saya memahami ternyata tidak mudah melatih banyak orang dengan strata yang berbeda-beda. Terlebih, pada warga yang sudah lanjut usia. Meski sudah dilatih untuk melakukan tindakan tertentu, saat terjadi bencana toh tetap saja melakukan kegiatan yang justru tidak boleh dilakukan.
Meski sudah dilatih agar pada saat erupsi Merapi tidak boleh melintasi Kali Gendol (dan sudah ada rambu-rambunya juga), tetap saja melitas. Tentu saja, bagi yang ingat prosedur penyelamatan diri sebagai mana telah dilatihkan, selamat dari ancaman lahar Merapi. Saya akhirnya bisa mengerti bahwa pelatihan terhadap bencana alam apapun perlu dibentuk agar menjadi kebiasaan masyarakat, dari anak-anak sampai yang sudah tua renta. Sekeras apa pun pelatihan terhadap antisipasi bencana alam, masih lebih bagus daripada banyak warga menjadi korban bencana.
Pascagempa bumi di Daerah Istimewa Jogjakarta pada 27 Mei 2006, kala kita ketemu anak usia balita dan masih sekolah taman kanak-kanak dan sekolah dasar, bisa cerita dengan riang bagaimana mereka meloncat keluar rumah masing-masing dan gembira melihat rumah pada roboh. Saat kejadian gempa yang mengguncang ”hanya” selama 55 detik itu, anak-anak tak punya rasa takut dan melakukan gerakan dan tindakan yang naluriah (instingtif) untuk menghindar dari bencana rumah roboh. Barulah beberapa menit kemudian, banyak anak-anak itu yang berteriak ketakutan dan histeris ketika menyadari rumahnya roboh atau rusak akibat gempa. Apalagi, setelah melihat salah satu keluarganya menjadi korban dan harus dirawat di rumah sakit.
Perilaku anak-anak kecil berbeda dengan remaja, orang tua, maupun warga usia lanjut. Kecenderungan anak usia remaja lebih tangkas dalam menghindar bahaya runtuhan bangunan akibat gempa, merekalah yang bertindak cepat melindungi keluarga terdekatnya dari runtuhan material bangunan. Mungkin anak-anak itu sudah mendapat pelatihan atau dapat pelajaran di sekolahnya sehingga dengan sigap mengurusi korban gempa dan membawanya ke rumah sakit.
Banyak orang dewasa yang menjadi korban runtuhan bangunan akibat gempa, yang disebabkan terlambat melakukan reaksi menjauh dari bangunan rumah atau bangunan lainnya. Runtuhan yang sangat berbahaya adalah material yang menghantam kepala dan menyebabkan pendarahan di kepala (gegar otak) dan tak mendapat pertolongan dengan cepat. Gerakan reflektif anak-anak secara naluriah sembunyi di kolong tempat tidur, justru menyelamatkan anak tersebut dari runtuhan rumahnya, sehingga banyak yang selamat dibanding orang tuanya.
Semua itu menunjukkan waktu yang hanya beberapa detik di antara saat gempa dengan saat runtuhnya bangunan harus dapat dimanfaatkan dengan tepat serta tindakan yang jitu. Hitungan detik yang menentukan nasib manusia. Sebab, pada saat itu pula seseorang bisa bertindak yang justru membahayakan diri sendiri. Seseorang ibu yang kebingungan karena tidak melihat anak balitanya, tiba-tiba bisa masuk rumah lagi dan saat itu pula rumahnya runtuh. Padahal, si anak sudah ndepipis di balik selokan. Nurani seorang ibu bisa mencelakakan dirinya sendiri demi kasih sayangnya untuk anak yang dicintainya.
Di rumah sakit mana pun, hari Sabtu 27 Mei 2006 itu hari yang sangat dan paling sibuk. Ratusan pasien menunggu penangan dokter yang umumnya karena patah tulang terkena runtuhan bangunan. Pasien yang luka parah pun banyak, tertimpa genting, kejatuhan balok kayu, tertimpa runtuhan atap rumah, ada pula tabrakan saat mengendarai motor: takut akibat isu tsunami.
Kecelakaan lalu-lintas pun menjadi penyebab seseorang luka parah, yang menunjukkan pascagempa bumi pun banyak aktivitas manusia yang membawa korban manusia. Kontras dengan korban manusia, hewan piaraan malah banyak yang selamat dan dengan tenang kembali beraktivitas seperti tak pernah ada peristiwa alam yang mengerikan.
Bila kita amati perilaku manusia pada saat gempa bumi dan pascaperistiwa itu terjadi, mayoritas manusia kehilangan rationalitas dalam bertindak dan memilih langkah apa yang harus dilakukan. Seseorang yang sudah terlatih menghadapi gempa pun pasti akan terkejut, namun mempunyai opsi untuk memutuskan apa yang sebaiknya harus dilakukan. Seseorang bisa bengong berhari-hari di depan runtuhan rumahnya dan menjadi manusia tak berdaya. Apalagi, salah seorang keluarganya menjadi korban gempa bumi tersebut.
Itulah sebabnya, di setiap daerah diperlukan ada fungsi yang menangani masalah bencana, bilamana daerah tersebut mempunyai potensi kebencanaan dari alam yang melingkunginya. Hanya saja, banyak yang keliru memandang bahwa dinas atau badan tersebut, baru berfungsi pascabencana terjadi. Mereka kelihatan bisa berbondong-bondong riuh saat melakukan evakuasi jenazah atau sibuk dengan rehabilitasi rumah roboh, tetapi lupa yang lebih penting itu menyelamatkan jiwa.
Agar jiwa-jiwa manusia itu selamat, tugas yang lebih penting dalam kebencanaan adalah mempersiapkan warganya menghadapi segala bentuk ancaman alam agar terhindar dari gerakan alam maupun kecelakaan akibat perilaku manusia. Badan ini harus menekankan bahwa gempa, tsunami, erupsi, puting beliung, dan lain-lain adalah risiko hidup di area yang berpotensi terjadi bencana alam dan harus siap menghadapi semuanya dengan pengetahuan dan pelatihan yang baik. Lebih baik dilatih siap menghadapi bencana daripada menjadi korban bencana. (*/amd/mg1)