Ketika karakter Aruna (Dian Sastrowardoyo) berbicara akrab ke penonton (saya lupa nama teknik apa ini), saya merasa bahwa si sutradara, Edwin, mencoba mengemas filmnya kali ini secara santai-menyegarkan.
Meski begitu, adegan pertama film ini tetap menggangguku karena tak cukup menarik perhatian mengingat terlalu singkat dan kaburnya maksud utama yang ingin disampaikannya. Ketika kelar menonton film ini pun saya tetap berpikir bahwa adegan itu nggak vital dan bisa dibuang saja.
Film bermula dari Aruna yang hobi kulineran sedang mendapat tugas dari kantornya untuk melakukan investigasi tentang kebenaran fakta atas virus flu burung yang menyerang manusia, alih-alih unggas saja.
Dalam tugas investigasi yang membuatnya harus bepergian ke beberapa kota di Indonesia itu, Aruna janjian pergi dengan sahabatnya yang seorang koki, Bono, untuk sekalian menikmati kuliner Nusantara. Aruna mencari resep nasi goreng favorit bikinan pembantu keluarganya, sedangkan Bono mencari inspirasi untuk menu restonya.
Dalam perjalanannya, sahabat Aruna lainnya bernama Nad dan mantan koleganya Aruna bernama Farish ikut bergabung. Mereka berempat kemudian terlibat dalam perjalanan yang dipenuhi dengan obrolan menyangkut masa lalu, kuliner, dan asmara.
Sebagai penonton film yang belum membaca novelnya, saya merasa film ini tak cukup berhasil membuat tiap-tiap persoalannya punya greget. Apakah film ini bercerita tentang politik (konspirasi) kalau dilihat dari tugas investigasinya, kuliner Nusantara, atau cinta? Semua campur baur tanpa aksentuasi. Kalau memang maunya jadi gado-gado, jatuhnya serba tanggung.
Karakterisasi kuartet karakter utamanya cukup bisa dianggap ada, tetapi dialog yang terkadang baku dan kaku membuatku merasa kikuk di beberapa adegan. Beberapa adegan bisa menghibur, termasuk bahasa matanya Aruna, tetapi mereka bukanlah kontributor utama. Subplot tentang konspirasi tak disajikan mendalam. Ia menjadi relevan karena tanpa ini maka takkan ada perjalanan bersama Aruna dengan Bono, Nad, dan Farish.
Aspek kuliner yang seharusnya menjadi perekat interaksi antarkarakter dan atribut plot bagiku tergarap sedang-sedang saja karena kuartet karakter utama hanya sebatas makan sembari membahas definisi permukaannya tipis-tipis saja, belum sampai mengkajinya sampai taraf filosofis. Untaian gambar kulinernya yang ala-ala foto buku resep yang dijual di toko buku kelas Gramedia sudah cukup menarik mata, tetapi unsur deskripsi visualnya belum sanggup membuat saya sebagai penonton menelan ludah atau bahkan goyang lidah.
Dalam persoalan cinta, film ini pun tak memberikan pengalaman rasa. Semua tersuratkan rapi, tapi tak tersiratkan sampai hati. Adegan pertama film yang saya bahas di atas mungkin saja dimaksudkan untuk menggarisbawahi bahwa elemen inilah yang menjadi porsi utama plot film. Akan tetapi, bagiku urusan cinta di film ini pun masih masuk kasta lapis kedua.
Lewat film ini tampaknya sutradara terbaik FFI 2017, Edwin, belum bisa meyakinkan saya sebagai penggemar bahwa dia konsisten menghadirkan karya yang kuat. POSESIF jelas lebih unggul di berbagai aspek ketimbang film ini.
Satu hal yang susah kucari dalam film ini adalah urgensi. Sayangnya ganjalan yang satu ini tak jua tertutupi oleh yang lain. Di mataku film ini macam seporsi gado2-gadi berpresentasi menarik dalam menu restoran mewah.
*Penulis adalah penggemar film dalam negeri dan penikmat The Chemical Brothers yang bermukim di Jogja Utara.