SLEMAN – Autis bukanlah penyakit yang orangnya harus dihindari. Tapi sayangnya di Indonesia masih banyak persepsi negatif terhadap salah satu jenis penyandnag disabilitas tersebut.

Perasaan itupula yang sempat dirasakan artis senior Christine Hakim saat hendak syuting film Dancing in The Rain. Diakuinya isu autisme ini menjadi masih menjadi momok di masyarakat. Bahakan dia mengaku sempat merasa takut dengan anak autis.

“Setelah adanya film ini mengubah pandangan saya. Orang tua yang menganggap anak autis adalah kutukan ini tidak benar,” ujarnya dalam meet and great film di Dancing in The Rain kemarin (18/10).

Pemeran utama film Tjoet Njak Dien itu merupakan salah satu aktor yang bermain dalam film itu dan berperan sebagai Eyang Uti. Perempuan yang sudah 40 tahun malang melintang di dunia perfilman Indonesia itu mengaku prihatin dengan kondisi anak autis di Indonesia.

Menurut dia autis ini bukanlah penyakit sehingga tidak harus dihindari. “Seharusnya kita yang harus memahami mereka karena mereka ada masalah dalam komunikasi. Masyarakat harus aware,” ajaknya.

Kampanye untuk memperhatikan anak autis ini terasa kental dalam Dancing in The Rain yang merupakan film layar lebar besutan sutradara Rudi Aryanto. Dalam ceritanya, Eyang Uti memiliki cucu yang bernama Banyu. Sejak kecil Banyu dititipkan kepadanya karena kedua orang tuanya kesulitan mengurus Banyu.

Saat Banyu memasuki usia sekolah, Eyang Uti dihadapkan pada kenyataan bahywa Banyu kecil (Gilang Olivier) mengidap spectrum autis. Akibatnya, Banyu sering di-bully.

Dimas Anggara yang memerankan Banyu dewasa melihat banyak hal yang bisa dipetik dalam film ini. Terutama memosisikan diri sebagai anak anak autis dan memahami psikologi. “Bagi saya (peran sebagai Banyu) ini sangat sulit,” kata suami Nadine Chandrawinata itu.

Bahkan, Dimas mengaku perlu waktu hingga tiga bulan lamanya untuk bisa menyatu dengan karakter Banyu. Itupun kata Dimas masih harus melakukan penyesuaian.

“Tiga bulan itu untuk riset dan lain sebagainya, tapi lama-lama bisa jadi kebiasaan saat shooting jadi tidak ada masalah,” ujarnya.

Sementara itu, Ibunda Gilang Olivier, Chintani mengatakan selama proses tidak ada masalah yang berarti. Kendati Gilang juga memiliki tanda ke arah autis, Gilang dapat berakting dengan baik.

“Walaupun ini film layar lebar pertamanya, tidak ada masalah karena beberapa kali pernah menjadi pemeran di beberapa film pendek,” kata perempuan 35 tahun asal Ngaglik, Sleman itu.

Sementara itu, Gilang mengatakan walaupun capek namun dia menikmati setiap proses yang ada. Bahkan setelah menonton film yang dia bintangi dia bertekad untuk melindungi anak yang menderita autis. “Seneng, seru, nggak ada yang susah,” kata Gilang. (har/pra)