Semakin mudahnya transportasi saat ini membuat sekat antarnegara menjadi melebur. Perjalanan antarnegara sama mudahnya seperti perjalanan antarkota. Dalam satu hari, seorang bisa berada di negara berbeda dalam waktu yang singkat. Sarapan di Jakarta, makan siang di Singapura, dan makan malam di Dubai, misalnya.

Tingginya mobilisasi tersebut memberikan dampak yang baik di bidang ekonomi, pendidikan, sosial, dan pariwisata. Selain dampak positif, terasa juga dampak lainnya yaitu makin mudahnya mobilisasi kuman yang terbawa oleh para traveller, atau didapat di negara tujuan.

Beberapa penyakit infeksi tersebut ditanggulangi dengan beberapa pendekatan yaitu primer, sekunder, dan tersier. Pendekatan pertama adalah pencegahan primer. Pencegahan primer ini diberikan kepada traveller sebelum pergi ke negara tujuan, baik dengan meningkatkan daya tahan tubuh, pemberian vaksinasi terhadap beberapa penyakit potensial, maupun kemoprofilaksis dengan antibiotika -namun hal yang terakhir ini perlu dikaji karena juga berpotensi menyebabkan resistensi antibiotika atau kebalnya kuman terhadap obat.

Untuk pencegahan primer ini dilakukan di negara asal atau titik keberangkatan, dapat dilayani di Rumah Sakit maupun Klinik tertentu. Frekuensi vaksin yang diberikan tergantung jenis vaksinnya, apakah vaksin hidup (kuman dilemahkan), kuman yang dimatikan, atau fraksi (bagian) kuman.

Pencegahan primer dengan vaksin atau kemoprofilaksis ini memberikan perlindungan lebih dari enampuluh persen. Selanjutnya pencegahan sekunder dilakukan dengan cara segera mengobati jika terjadi infeksi. Vaksin hanya tersedia untuk beberapa penyakit infeksi saja, sehingga waspada terhadap gejala awal adalah cara terbaik untuk mencegah keparahan penyakit.

Gejala yang paling umum dari penyakit infeksi adalah adanya demam. Namun demikian, tidak semua demam adalah tanda infeksi, dan sebaliknya jika tidak demam bukan berarti tidak terjadi infeksi. Infeksi lokal di awal tidak memberi gejala demam.

Observasi gejala penyerta juga menjadi pencegahan sekunder yang baik. Gejala penyerta itu misalnya mata merah, nyeri tulang dan sendi, diare, batuk pilek, muntah, dan sebagainya. Sambil mengobservasi, pikirkan juga kejadian apa yang baru dialami. Apakah mengkonsumsi makanan untuk pertama kalinya, bepergian ke lingkungan terbuka tanpa pelindung, melakukan aktivitas/rekreasi ekstrim misalnya arung jeram, dan lain-lain.

Gejala yang timbul dan dirasakan tersebut perlu dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan yang dilakukan bisa dari darah, urie/kemcing, maupun kotoran/feses. Dari pemeriksaan tersebut, diagnosis infeksi dapat ditegakkan. Selain laboratorium, dapat juga dilakukan peneriksaan pencitraan berupa ultrasonografi/USG dan radiologi. Setelah tegak diagnosisnya, pengobatan yang tepat dapat dilakukan, terutama dengan mengonsumsi antimikroba (antibakteri, antiparasit, antivirus, atau antijamur). Perlu diperhatikan bahwa kepatuhan mengonsumsi antimikroba sesuai dosis, waktu, dan durasi yang tepat sangat penting untuk mencegah timbulnya kuman kebal obat.

Pencegahan yang selanjutnya adalah pencegahan tersier. Ada beberapa infeksi yang bersifat kronis, bisa ditularkan bahkan setelah gejala menghilang atau menimbulkan gangguan lanjutan, misalnya demam tifoid dan diare amubiasis (diare lendir darah karena amuba). Untuk mencegah kekambuhan penyakit atau bertambah progresif, maka beberapa saat setelah infeksi, perlu adanya pengecekan ulang dari darah maupun kotoran/fesesnya. Dengan demikian, kuman yang didapat di negara lain maupun terbawa pulang pun bisa ditanggulangi dengan baik. (ila)

*Kepala Pusat Studi Penyakit Tropis dan Infeksi FK UKDW