80 persen tak Ikuti Aturan Tahan gempa

JOGJA  – Berada di wilayah rawan gempa, bahkan pada 2006 lalu sempat terdampak gempa, sekitar 80 persen warga DIJ tidak mengikuti aturan rumah tahan gempa. Meski kesadaran itu ada, tapi tidak mengaplikasikan rumah tahan gempa pada bangunan rumah mereka.

Kepala Seksi Perencanaan Perumahan Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral (PUP–ESDM) DIJ Ignatius Sudarno mengaku melalui program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), warga sudah diberi edukasi membangun rumah dengan ketahanan gempa yang baik. Melalui program itu Dinas PUP-ESDM DIJ memberikan percontohan rumah tahan gempa yang bisa didirikan.

Masyarakat yang ingin membangun rumah tahan gempa, akan melakukan konsultasi kepada pendamping dari Dinas PUP-ESDM DIJ yang ada dilapangan. Hanya saja, tidak semua arahan yang diberikan akan dilakukan oleh masyarakat.

“Hal-hal detail biasanya tidak dilakukan, seperti pembengkokan besi harus 30 derajat,” kata Sudarno saat ditemui di Kantor Dinas PUP-ESDM belum lama ini.

Selain tidak memperhatikan detail bangunan, masyarakat juga mengeluhkan biaya yang lebih mahal untuk melakukan pembangunan rumah tahan gempa. Menurut dia biayanya bisa 30 persen lebih banyak dibandingkan pembangunan biasa. “Kemungkinan itu juga yang membuat masyarakat tidak membangun rumah yang tahan gempa,” katanya.

Edukasi rumah tahan gempa yang diberikan kepada masyarakat melalui RTLH maupun sosialisasi dengan waktu berjangka, diharapkan mampu membuat masyarakat sadar akan pentingnya bangunan tahan gempa yang ada di DIJ.

Sudarno berharap, kedepannya masyarakat DIJ lebih memperhatikan kekuatan bangunan untuk mengurangi risiko kerusakan saat gempa bumi terjadi. Mengingat di DIJ dekat dengan gunung merapi dan laut yang kapan saja bisa terjadi gempa.

Perhitungan biaya untuk pembangunan rumah tahan gempa harus dipertimbangkan. Dimana saat terjadi gempa dan mengalami kerusakan, renovasi rumah akan memakan biaya yang lebih banyak. “Lebih baik mengeluarkan uang sedikit lebih banyak untuk memberi material guna rumah tahan gempa,” jelas Sudarno.

Sebelumnya Ketua Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) DIJ Ahmad Saifudin Mutaqi juga menilai secara umum masyarakat DIJ makin sadar tinggal di wilayah rawan bencana. Itu dinilai oleh Ahmad dengan evakuasi mandiri oleh warga di lereng Merapi, saat terjadi erupsi freatik beberapa waktu lalu. “Beberapa waktu lalu arsitektur ASEAN juga datang ke Jogja belajar tentang disaster risk and management,” ujarnya.

Dalam pengurangan resiko bencana, lanjut Ahmad, IAI DIJ bersama instansi terkait juga sudah rutin menggelar pelatihan. Secara tegas Ahmad menolak dengan istilah bangunan tahan gempa. Dirinya lebih sepakat dengan istilah ramah gempa.

“Kekuatan alam kan bukan untuk dilawan,” jelasnya.

Dalam pengurangan resiko bencana, Ahmad menyebut dalam penyusunan struktur desain arsitek sudah dibantu pengitungan konstruksi melalui perhitungan koefisien gempa. Hal itu untuk mengukur kekuatan bangunan dan mengurangi potensi adanya korban.

“Kalau desainya tidak bisa diseragamkan ada 1.000 kemungkinan desain asritektur, yang penting bisa melimitasi korban,” jelasnya. (cr7/pra/er/mo2)