Tak semua pembeli rumah murah merasa puas. Terutama terhadap spesifikasi bangunan. Yang ditengarai tak sesuai bestek. Namun, tak sedikit pula yang merasa nyaman. Daripada terus-terusan menguni rumah kontrakan.

“Yang jelas dindingnya rapuh. Dipukul terlalu keras bisa retak,” keluh Tricahyo,36, yang memiliki rumah murah di wilayah Prambanan.

Selain rapuh, plester dinding tidak rapi. Cahyo, sapaannya, menyebut: mlethat-mlethot. Dan yang paling parah adalah lantai WC. Belum genap setahun dihuni lantai WC amblas. “Ukuran pipa air kecil. Saya tanya tukang yang memasang, katanya, seharusnya lebih besar diameter pipanya,” beber karyawan swasta di wilayah Sleman itu.

Bagaimana pun kondisinya, rumah sudah terbeli. Cahyo menghuninya bersama keluarga kecilnya. Dia membeli rumah itu karena murah. Jika dibayar cash Rp 123 juta per 2017. Dia membyar secara kredit lewat bank. Uang mukanya Rp 20 juta. Angsuran per bulan Rp 950 ribu. Diangsur dengan tempo 15 tahun.

Dia dijanjikan dapat cash back oleh developer setelah tiga bulan Rp 4 juta. “Kalau kredit lebih lama angsuran bisa lebih murah. Tapi total angsurannya jadi lebih banyak,” ungkap bapak dua anak itu.

Lain halnya dengan Suprihatin,30, warga Perumnas Trimulyo Asri, Bantul. Dia menghuni rumah tipe 27 bersama suami, seorang anak, dan ibu kandungnya. Sudah dua tahun berjalan.

“Rumah ini nyaman. Sesuai harapan saya,” ungkapnya. Suprihatin membeli rumah seharga Rp 110 juta pada 2014 lalu. Dengan uang muka Rp 17 juta. Angsuran per bulan Rp 700 ribu. Dia mengangsur selama 18 tahun.

Dia memilih Perumnas Trimulyo Asri karena lokasinya dinilai cukup strategis. Dibanding perumahan murah lainnya. Meskipun letaknya sulit dijangkau angkutan umum. Namun, harganya cukup terjangkau bagi keluarganya. Terlebih penghasilan sang suami sekitar Rp 4 juta per buan.

Rumahnya memiliki dua kamar tidur, satu kamar mandi, satu ruang tengah, dan teras. “Direnovasi boleh. Asal tidak mengubah bentuk aslinya,” kata Suprihatin.

Senada diungkapkan Karina Wijayanti,27, tetangga Suprihatin. Hanya, dia mengambil kredit dengan tempo 20 tahun. Dengan angsuran Rp 655 ribu per bulan.

“Uang muka bayar Rp 17 juta,” ungkap Karina, yang suaminya berpenghasilan Rp 1,5 juta per bulan.

Karina mengaku lega sudah punya rumah. Meski akses jalannya cukup jauh dari keramaian. “Agak ribet kalau kemana-mana. Naik turun gunung,” ungkapnya.

Sementara itu, Hisyam Rokhmat, warga Perumahan Ndalem Guwosari mengaku hidupnya lebih baik setelah tinggal di rumah murah. Bahkan penghasilan kotornya sebagai wiraswastawan meningkat. Dari Rp 7 juta (sebelum kredit rumah murah) menjadi Rp 25 juta per bulan. Setelah tiga tahun menghuni Ndalem Guwosari.

“Dulu saya tak punya rumah dan harus tinggal di showroom Kasongan,” ungkap pria 50 tahun itu.

Kini setelah tinggal di rumah murah Hisyam bisa mencicil mobil pribadi. Baginya, rumah murah bersubsidi menjadi keberkahan bagi masyarakat kecil yang belum memiliki rumah. “Rumah ini sebagai batu pijakan untuk membantu perekonomian masyarakat lebih baik lagi,” katanya.

Hisyam membeli rumah tipe 36 seharga Rp 116 juta. Di cicil selama 20 tahun. Angsurannya Rp 700 ribu perbulan. “Kalau tidak subsidi mungkin pembayaran perbulannya mencapai Rp 1,2 juta,” katanya.

Yang menjadi persoalan, Guwosari termasuk kawasan sulit air. Namun, masalah itu tak berlangsung lama. Bersam warga lain dia membuat paguyuban untuk pengadaan air dan fasilitas pendukung lainnya secara swadaya.(ega/yog/rg/mo2)