”Seberapa pun banyaknya manusia bermukim pada suatu kawasan, kebutuhan ruang untuk permukiman memang harus dibatasi dan jangan sampai melanggar kepentingan yang lain.”
———–
Oleh: Ibnu Subiyanto
Bupati Sleman 2000-2010
Seberapa daya dukung sebuah kawasan untuk menjadi tumpuan manusia yang hidup di atas suatu sistem lingkungan? Itulah pertanyaan strategis yang sejak mula harus ditentukan untuk membuat patokan atau standar kebijakan pada suatu kawasan hunian. Struktur geologi di atas permukaan bumi itu tidak akan sama. Oleh karena itu, memerlukan respons kebijakan yang berbeda-beda pada setiap jengkal lahan.
Bahkan, untuk suatu kota pun, dasar kebijakan untuk peruntukan suatu kawasan hunian tidak akan sama. Sejauh mata memandang, hamparan sawah di Kecamatan Berbah seolah sama daya dukung tanahnya. Tapi, setelah diteliti dengan cermat, akan ketahuan ternyata tidak semuanya mampu untuk mendukung bangunan tinggi.
Bukan hanya struktur tanah saja yang harus jadi patokan. Tetapi, ketersediaan air tanah pun sangat berpengaruh dalam tata kelola bangunan di atas permukaan tanah. Oleh karena itu, kebijakan tata guna tanah diserahkan sepenuhnya pada masing-masing kota atau kabupaten, karena memang daya dukung tiap daerah menampung jumlah manusia dengan aktivitas yang demikian banyak tidak akan pernah sama.
Bukan hanya masalah struktur tanah yang tergambar dalam peta geologi semata, yang menjadi faktor penentu kebijakan permukiman dan penataan bangunan di area tertentu. Tetapi, banyak faktor lainnya yang terkait dengan situasi alam pada suatu kawasan, seperti: cuaca, curah hujan, luasan area tangkapan hujan, lapisan tanah, ketersediaan air, proporsi hutan penghasil oksigen, dan lain sebagainya. Itu pula yang menjadi dasar penentuan koefisien dasar bangunan (KDB) pada suatu area hunian yang sebetulnya bukannya akal-akalan atau maunya pemberi izin pembangunan di pemerintah daerah.
Di antara banyak faktor yang berpengaruh dalam lingkungan hidup manusia itu adalah air dan oksigen, yang keduanya dibutuhkan semua unsur kehidupan ini dalam setiap detik. Hanya saja, sering kali manusia tidak menyadari, bahwa tiap detik dia harus menghirup oksigen dalam jumlah tertentu dan dia buang kalau sudah tidak bermanfaat.
Semua manusia hidup turun temurun berada di muka bumi yang selalu ada oksigen dan air, sehingga tak merasakan betapa fatalnya kalau kedua unsur tersebut tidak tersedia dalam jumlah cukup untuk seluruh makhluk hidup. Jika oksigen relatif melimpah ruah di atas permukaan bumi ini, tidak demikian halnya dengan air. Meskipun volume air di bumi ini tak pernah berkurang, tetapi keberadaan air tidak dengan sendirinya ada pada semua area atau kawasan. Ada kawasan yang sulit air, tetapi ada pula yang berkelimpahan.
Air begitu penting bagi manusia karena 70 persen tubuh manusia pun mengandung zat cair. Demikian pula semua hewan maupun tumbuhan tidak akan bertahan hidup tanpa air dalam jumlah yang cukup memadai. Air bukan saja mengalir di permukaan tanah, berada di angkasa sebagai uap air, tetapi di dalam tanah pun ada air juga.
Air tanah kita temukan di lapisan kerak bumi yang tidak saja untuk mensuplai kebutuhan manusia yang tinggal di atasnya. Tapi, untuk menjaga daya dukung kerak bumi itu sendiri. Air di muka bumi ini tak selalu tersedia di mana saja, karena pergerakaannya sangat berbeda dengan oksigen.
Begitu pentingnya air untuk kehidupan semua makhluk di permukaan bumi ini, semua permukiman manusia selalu mendekatkan diri dengan aliran air ataupun mata air. Itulah sebabnya, keraton di masa lalu selalu dibangun di dekat sungai yang diperkirakan cukup untuk seluruh penghuninya.
Keraton Mataram Islam pada awalnya berada di dekat Kali Gajah Wong. Sultan Agung dan Sunan Hamangkurat I membangun istananya di dekat Kali Kuning. Sultan HB I pun membangun istana di tepi sebuah danau yang sejuk yang dilengkapi Istana Air Taman Sari di tengahnya. Danau tersebut memperoleh suplisi dari Kali Winongo. Hamangkurat I membangun istananya di Kartasura, dekat Kali Pabelan yang berhulu dari Gunung Merapi. Demikian pula Sunan Pakubuwono II, memindahkan kraton di lokasi saat ini, yang ketersediaan air tanahnya terjaga dengan baik.
Dengan keterbatasan teknologi pada masanya, semua bangunan dirancang dekat dengan aliran sungai. Bahkan, saluran air sengaja dibangun untuk dimanfaatkan rakyatnya. Di zaman Mataram Kuno, air yang berlimpah disalurkan pula melewati kawasan permukiman sehingga ciri khas permukiman (kota kuno) adalah kanal air.
Kanal-kanal air kuno itu ditata dengan rapi, menunjukkan keahlian mereka dalam membendung sungai dan mengalihkan aliran air ke kanal permukiman. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan, bagaimana masyarakat kuno membangun permukiman dengan jaringan utama kanal air.
Tidak ada negara agraris yang membiarkan negerinya mengimpor kebutuhan pangan dari waktu ke waktu, kecuali Indonesia. Negara pulau yang tak punya lahan pertanian pun, berusaha mencukupi kebutuhan pangannya dengan cara penguasaan perusahaan perkebunan di negara lain melalui kolonialisasi atau pengendalian saham pada perusahaan perkebunan.
Singapura pun punya kebun dan kompleks perternakan di lingkungan negara lain guna menjamin pasokan pangan di negeri beton tersebut. Singapura pun memiliki sumber air yang tak akan pernah habis dari negara tetangganya yang berlimpah dengan harga yang murah. Artinya, ketahanan suatu bangsa membutuhkan alokasi yang tepat atas pemanfaatan lahan yang dikuasai untuk berbagai kepentingan, dan tentu pula lahan pertanian dengan sistem irigasinya diberikan tempat yang paling utama.
Kebutuhan lahan untuk mempersiapkan kebutuhan pangan rakyat tentu harus dialokasikan dalam luasan tertentu dan membentuk sistem pertanian dengan semua produknya. Pengembangan sistem pertanian dapat disatukan dengan kebutuhan lahan untuk menangkap air hujan dan permukiman petani yang tentu harus dalam konteks satuan sistem. Semua pihak harus mempunyai kesadaran yang sama bahwa air pun tak dapat diperoleh dengan gampang lagi, bila mana di suatu kawasan punya penduduk dalam jumlah besar. Suatu kawasan hunian pun harus diatur seberapa luas lahan untuk pertanian, seberapa untuk menangkap air hujan, permukiman, industri, dan lain-lain.
Begitulah menata lingkungan kehidupan yang sebetulnya permukaan bumi ini bukannya tak terbatas. Tidak ada yang tak terbatas di muka bumi ini, meski ada pula yang punya kesempatan untuk menguasai permukaan bumi ini sebanyak-banyaknya dengan kekuasaan ataupun dengan uang. Seberapa pun banyaknya manusia bermukim pada suatu kawasan, kebutuhan ruang untuk permukiman memang harus dibatasi dan jangan sampai melanggar kepentingan yang lain. (*/amd/fj/mg3)