KPK telah berusia 14 tahun. Namun perilaku korupsi seperti belum banyak berubah. Setiap saat banyak pejabat yang diberitakan dicokok oleh komisi antirasuah tersebut.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebutkan, pada 2018 saja sudah ada 27 kali operasi tangkap tangan (OTT), 20 di antaranya kepala daerah. Bupati Pakpak Bharat, Sumatera Utara, yang terakhir ditangkap adalah 100 kepala daerah yang sudah ditangkap sejak KPK berdiri.

Terkait dana desa, pada 2017 KPK sudah menerima laporan ratusan penyelewengan. Pada 2018 jumlahnya masih sama. Namun hal itu tidak dapat ditindaklanjuti institusinya, sebab kepala desa tidak termasuk pejabat negara. Dalam hal ini wewenang KPK dibatasi, karena hanya menindak pejabat penyelenggara negara.

“Laporan ini kami teruskan ke Kementerian Desa dan Kemendagri agar ada pembinaan. Kecuali sudah kebangetan, ya ada tindakan hukum. Kami koordinasi dengan aparat penegak hukum,” ungkapnya.

Marwata mengatakan, pihaknya pernah mengusulkan agar setiap kasus korupsi dana desa dapat diselesaikan dengan memaksimalkan proses pengawasan di desa melalui BPD. Termasuk jumlah kerugian negara atau nilai korupsi, pelaku diminta mengembalikan dengan proses musyawarah di desa.

Sebab jika dipaksakan melalui tipikor, maka untuk menyelesaikan kasusnya dari penyelidikan, penyidikan, sidang hingga penyelesainya pemerintah bisa-bisa tekor. Dia mencontohkan kasus korupsi di sebuah desa di Purwokerto, Jawa Tengah, dengan kerugian kurang dari Rp 10 juta. Jika diproses di Semarang, tentu lebih banyak ongkos perkaranya. “Bayangkan jika itu di luar Jawa yang akses transportasinya susah,” bebernya.

Desa, kata Marwata, adalah unit pemerintahan terkecil dan memiliki otonomi khusus. Desa juga bisa kompleks karena kadang juga menampung masyarakat adat seperti di Bali. Keduanya mendapatkan dana operasional.

Selain itu, tidak seperti di Jawa kapasitas manajerial keuangan desa belum semua baik. Misalnya di Papua dan Kalimantan. Kepala desa juga kadang merangkap kepala adat atau kepala suku yang sulit melakukan pengawasan.

“Sedangkan di Jawa semua masyarakat desa aktif mengawasi dana desa. Karena dana desa ditujukan dari desa untuk desa, ada baiknya diserahkan pengawasannya ke masyarakat desa. Artinya masyarakat yang perlu mengawasi dan cerewet. Kalau diam, ya hanya jadi gapura. Tidak ada efek ke masyarakat,” jelasnya. (*/riz/laz/er/mg3)