JOGJA – Belum lagi diduduki, kursi sekretaris dewan (Sekwan) DPRD DIJ yang akan ditempati Haryanta digoyang sejumlah fraksi di parlemen. Gara-garanya, proses penempatan Haryanta menggantikan Beny Suharsono dinilai menyalahi sejumlah undang-undang. Di antaranya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 17 Tahun 2014 tentang Susunan dan Kedudukan MPR DPR DPD dan DPRD (MD3).

“Jelas UU No. 23 Tahun 2014 mengharuskan pengangkatan Sekwan atas persetujuan pimpinan dewan setelah berkonsultasi dengan pimpinan fraksi. Sampai sekarang permohonan persetujuan dari gubernur belum pernah dibahas di forum konsultasi pimpinan dewan dan pimpinan fraksi,” tuding Sekretaris Fraksi PAN DPRD DIJ Arif Setiadi Selasa (1/1).

Arif lantas mengutip amanat pasal 202 UU No. 23 Tahun 2014 tersebut. Bunyi selengkapnya, Sekretariat DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 201 ayat (1) dipimpin seorang sekretaris DPRD provinsi yang diangkat dan diberhentikan dengan keputusan gubernur atas persetujuan pimpinan DPRD provinsi setelah berkonsultasi dengan pimpinan fraksi.

Anggota dewan asal Dapil Gunungkidul itu mengatakan, sampai saat ini pimpinan dewan belum pernah menggelar rapat konsultasi. Mengutip Peraturan DPRD DIJ No. 1 Tahun 2018 tentang Tata Tertib, diatur jenis-jenis rapat dewan. Sesuai pasal 83 ayat (1) ada lima jenis rapat DPRD. Yakni rapat paripurna, rapat pimpinan DPRD, rapat fraksi, rapat konsultasi dan rapat badan musyawarah.

Adapun pengertian rapat konsultasi adalah rapat antara pimpinan DPRD, pimpinan fraksi dan pimpinan alat kelengkapan DPRD yang dipimpin oleh ketua atau wakil ketua DPRD.

“Sekwan jabatan strategis dan mitra DPRD karena menjalankan tugas fasilitasi bagi pimpinan dan anggota dewan,” ingat Arif.

Lantaran dinilai menyalahi sejumlah UU, Arif menasihati Pemprov DIJ mengkaji ulang pelantikan Sekwan. Rencananya, pelantikannya dibarengkan dengan beberapa pejabat eselon II a dan II b di Bangsal Kepatihan pada Kamis (3/1) lusa.

“Ada baiknya gubernur menunda dan terlebih dahulu memenuhi mekanisme sesuai perintah UU. Kalau mengabaikan amanat UU No 23 Tahun 2014, maka pelantikan Sekwan bisa dinyatakan maladministrasi. Ini kurang bagus bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah,” ungkap Arif.

Diingatkan, pemprov tidak bisa berdalih ada regulasi lain yang menjadi rujukan di luar UU No. 23 Tahun 2014. Sebab kewajiban pemprov adalah menaati semua perintah undang-undang tanpa kecuali. Sebab, bunyi pasal 202 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 tidak bisa ditafsir lain.

Suara senada juga disampaikan Ketua Fraksi PKB Sukamto. Menurutnya, selama pasal 202 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 tidak dijalankan, maka proses pergantian Sekwan tidak sah. “Cacat hukum dan dapat dibatalkan,” tudingnya.

Sebagai pimpinan fraksi, dia juga tidak tahu jika Sekwan DPRD DIJ akan diganti. Selama ini juga tidak ada surat permohonan persetujuan dari gubernur kepada pimpinan dewan dan ditindaklanjuti konsultasi dengan pimpinan fraksi. “Terus terang ini mengagetkan kami,” sesalnya.

Mestinya, kalau ada rapat konsultasi, dewan bisa mengundang calon Sekwan yang akan ditugaskan gubernur. Pimpinan fraksi-fraksi dapat berdialog dan mengenal lebih dekat dengan sosok Haryanta. “Kami juga ingin mendengarkan paparan visi misinya memimpin Setwan,” ujar Sukamto.

Perlunya pemprov mengambil langkah hati-hati juga disampaikan Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan Dwi Wahyu Budiantoro. Dia mendengar pemprov punya beberapa pertimbangan, sehingga tidak mengajukan surat persetujuan ke pimpinan dewan. Namun hanya permohonan rekomendasi ke pimpinan dewan. Dasar yang dirujuk pemprov bukan UU No. 23 Tahun 2014. Tapi UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.

“Boleh saja ada UU lain yang diacu. Tapi UU No. 23 Tahun 2014 tidak boleh diabaikan. UU tersebut harus tetap dipedomani,” ingat Dwi.

Tugas Sekwan juga tidak ringan. Selain mitra dewan, Sekwan berfungsi sebagai verifikator bagi DPRD. Khususnya saat menjalankan kegiatan yang dibiayai APBD. Sekwan menjadi filter agar dewan tidak terjerumus pada tindakan yang menyalahi aturan. “Karena itu, jangan sampai penempatan Sekwan juga tidak sesuai regulasi,” katanya.

Terpisah, Sekprov DIJ Gatot Saptadi mengakui tidak mengajukan permohonan persetujuan ke pimpinan DPRD DIJ. Gatot menyebut dasar yang dipakai pemprov adalah UU No. 5 Tahun 2014 dan PP No. 11 Tahun 2014. “Tidak harus ada persetujuan, tapi konsultasi dengan pimpinan dewan,” terangnya.

Karena itu, surat yang dikirimkan ke pimpinan dewan lebih merupakan permohonan rekomendasi. “Rekomendasi telah diberikan ketua DPRD. Jadi tidak ada persoalan,” bantahnya.

Rekomendasi itu diteken Ketua DPRD DIJ Yoeke Indra Agung Laksana. Informasinya telah diterima pemprov pada 28 Desember 2018. Sekwan DPRD DIJ Beny Suharsono disebut-sebut mendapatkan tugas khusus. “Pak Beny yang dipasrahi mengawal terbitnya rekomendasi itu,” bisik seorang sumber di Kepatihan.

Surat yang diajukan pemprov itu berisi tiga calon Sekwan. Kepala Biro Umum Setprov DIJ Haryanta ada di urutan pertama. Disusul Kabag Humas Setwan DPRD DIJ Budi Nugroho di urutan kedua dan disusul Sekretaris BLH DIJ Maladi di posisi ketiga.

Sumber lain menceritakan sosok Haryanta memang relatif kurang dikenal pimpinan dewan. Tak heran saat menghadiri peresmian pintu gerbang sisi barat Kepatihan belum lama ini, dua wakil ketua dewan Arif Noor Hartanto dan Rany Widayati sempat menanyakan figur calon Sekwan kepada Gubernur DIJ Hamengku Buwono X.

“Itu lho orangnya yang baru saja keluar dari ruangan ini,” ujar HB X menjelaskan sosok Haryanta kepada kedua pimpinan dewan itu.

Saat dialog terjadi, Haryanta baru keluar dari ruang transit tamu gubernur. Dia tengah menaiki motor Yamaha Nmax. “Pinjam sebentar. Hendak keluar sebentar,” ujarnya kepada seorang anggota Satpol PP DIJ. (kus/zam/fn)