SLEMAN – Pendarahan masih menjadi penyebab utama kasus kematian ibu di Indonesia. Sedang di DIJ penyebabnya antara lain sakit jantung, hipertensi, hingga infeksi. Pemprov DIJ dinilai sudah baik untuk menekan angka kematian ibu (AKI).

Keberhasilan itu salah satunya dengan nilai AKI di DIJ yang berada di bawah rerata nasional. Diantaranya dengan program pemeriksaan Toksoplasma, Rubela, Cytomegalovirus/CMV dan Herpes simplex (TORCH) yang dijamin biayanya oleh Pemprov DIJ.

“Kalau di DIJ sudah banyak program dan upaya menurunkan AKI,” kata Pakar Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan dr Detty S Nurdiati, MPH, PhD, SpOG(K) saat menjadi narasumber pada acara Winter Course 2019 on Interprofessional Health Care di Gedung Grha Wiyata FK-KMK UGM Senin (7/1).

Detty mengatakan, upaya yang dilakukan Pemprov DIJ untuk menurunkan AKI cukup baik. Upaya lain yang dilakukan yakni meningkatkan pengetahuan ibu hamil lewat sosialisasi ataupun kader Keluarga Berencana (KB). Para ahli kesehatan dan pemerintah juga sedang mengupayakan untuk menaikkan batasan usia menikah. Dari 16 tahun menjadi 20 tahun. Dengan menaikkan batasan usia, diharapkan mampu mencegah persalinan usia dini. Sebab, pada usia tersebut banyak risiko yang bisa terjadi. Baik untuk ibu maupun bayinya.

Tapi Detty mengaku ada banyak penyebab sehingga AKI di Indonesia masih tinggi. Mulai dari pendarahan hingga akibat penyakit jantung bawaan. “Kalau berdasarkan angka nasional, penyebab pertama itu pendarahan,” ujarnya
Beberapa hal, seperti sakit jantung, hipertensi, atau infeksi dikategorikan sebagai penyebab langsung. Sedangkan penyebab tidak langsungnya antara lain yakni pernikahan muda. Kurangnya pengetahuan sang ibu, hingga lambatnya penanganan dan pencegahan.

Berdasarkan laporan capaian kerja Kementrian Kesehatan (Kemenkes) RI, AKI di Indonesia mengalami penurunan. Terhitung sejak 2015 ada 4.999 kasus AKI. Lalu sedikit menurun di 2016 menjadi 4.912. Hingga cukup tajam pada 2017 yakni menjadi 1.712 kasus.

Kendati terus mengalami penurunan angka, AKI di Indonesia masih dinilai cukup tinggi di ASEAN. Berbeda dengan Singapura. Jika di Indonesia angka kematian menempati posisi 305 per 100.000 kelahiran hidup menurut Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015. Negara Singa itu hanya menempati 2-3 per 100.000 kelahiran hidup.

Namun, yang masih menjadi masalah yakni penyebab kematian tersebut. Banyak perempuan Singapura yang justru tak ingin menikah. Jika keputusan menikah itu diambil, rata-rata usia mereka sudah di atas 30 tahun. Sehingga saat hamil, mereka berada di usia rentan.

Di sisi lain, Ketua Panitia Winter Course 2019 dr Gunadi, PhD, SpBA, mengatakan, untuk mengurangi angka kematian ibu, semua pihak harus terlibat. Tak hanya dari pihak medis dan pemerintah, tapi juga keluarga, yakni suami. “Peran laki-laki sangat penting untuk mendukung istrinya,” kata Gunadi. Tak hanya mendukung secara mental, tapi juga aksi. Seperti kemauan bertukar peran terlibat dalam mengurus anak dan dapur. (cr9/pra/fn)