Pertumbuhan penduduk di suatu daerah akan menentukan arah pembangunan. Tingkat kepadatan penduduk juga akan membuat semakin menyusutnya lahan yang ada. Tentu efek domino akan terjadi. Pembangunan hunian bukan lagi mengarah ke model landed melainkan menjadi high-rise buildings atau rumah vertikal.
Ketua DPD REI DIJ Rama Adyaksa Pradipta sejak 2018 lalu telah memperkirakan kondisi ini. Sebab, dari ketersediaan lahan sudah tidak memungkinkan lagi untuk membangun rumah tapak. Kondisi ini juga menjadi kendala untuk penyediaan rumah murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. “Hunian vertikal adalah suatu keniscayaan,” ujar Rama.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Lincolin Arsyad mengatakan tren high-rise buildings ini merupakan dampak dari pertumbuhan penduduk yang semakin banyak. Dari data yang dia dapatkan 2016 pertumbuhan masyarakat di Sleman ada di angka 1,113 persen. “Padatnya Sleman ini apa hanya warga Sleman saja atau pendatang,” kata Lincolin.
Lincolin tidak menampik jika saat ini ketersediaan tanah apalagi di Sleman sangat minim. Sebab, tidak semua wilayah Sleman bisa untuk dibangun perumahan. Sleman Barat, contohnya. Daerah Moyudan, Seyegan, Minggir, dan Gamping merupakan daerah sabuk hijau. Sebagian besar hasil pertanian di Sleman dipasok dari sana.
Oleh karenanya, pemanfaatannya tidak boleh untuk membangun perumahan. Apalagi penyusutan lahan pertanian di Sleman makin ke sini makin banyak. Tengok saja daerah Jalan Kaliurang. Jika dahulu banyak lahan sawah, kini mulai beralih menjadi lokasi kuliner ataupun pusat oleh-oleh.
Adanya high-rise buildings ini juga merupakan salah satu upaya dan solusi untuk mengurangi dampak alih fungsi lahan. Lincolin menjelaskan, tren hunian ini paling tidak juga akan berdampak pada sektor ekonomi. Nantinya akan muncul lapangan kerja baru untuk masyarakat. “Kan, nanti pengelola apartemen itu akan membutuhkan satpam ataupun cleaning service, ini juga lapangan pekerjaan,” bebernya.
Namun, Lincolin juga mengatakan, tidak selamanya high-rise buildings menimbulkan dampak positif. Tentunya tidak semua orang dapat tinggal ataupun membeli apartemen. Sehingga kesenjangan sosial akan muncul. “Saya tidak menampik itu (kesenjangan sosial). Karena memang pasti akan muncul dan terjadi dualisme,” ujarnya.
Terlepas dari itu, dengan padatnya DIJ dan minimnya lahan yang tersedia, solusi utamanya adalah membuat apartemen. Itu untuk memenuhi kebutuhan hunian untuk warga DIJ maupun para pendatang. Hanya saja yang menjadi tantangan para developer, modal besar untuk membangun apartemen dan belum jelasnya tingkat keterjualan apartemen tersebut. (har/din/fn)