GUNUNGKIDUL – Wajib belajar sembilan tahun masih menjadi pekerjaan rumah berat bagi pemkab. Apalagi, wajib belajar 12 tahun. Sebab, fenomena banyaknya lulusan SMA dan sarjana yang menganggur menjadi pemicu siswa enggan mengenyam pendidikan tinggi.

Anggota Komisi D DPRD Gunungkidul Heri Nugroho membenarkannya. Politikus Partai Golkar ini intens mendorong siswa dan para pemuda untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Namun, tak jarang di antara mereka yang menolak.

”Mereka bertanya, mau kerja apa sekolah tinggi-tinggi?,” tutur Heri di kantornya Rabu (9/1).

Padahal, lanjut Heri, pendidikan tinggi berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan. Ijazah SMP (sekolah menengah pertama) tak lagi bisa digunakan. Apalagi, ijazah SD (sekolah dasar). Yang masih digunakan untuk melamar pekerjaan ijazah SMA (sekolah menengah atas).
”Itu (ijazah SMA) minimal,” ucapnya.

Kasi Neraca Wilayah dan Analisis Badan Pusat Statistik (BPS) Gunungkidul Amir Misbahul Munir mengungkapkan hal senada. Menurutnya, BPS setiap tahun rutin melakukan survei. Sasarannya, adalah pemuda berusia 15 tahun ke atas. Survei dengan metode sampling itu untuk mengetahui rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah.

Dari survei ini diketahui, rata-rata lama sekolah di Bumi Handayani memprihatinkan. Hasil survei pada 2017, misalnya. Jumlah penduduk berstatus sarjana hanya 5,32 persen. Sedangkan yang lulusan SMA/SMK 19,76 persen. Lulusan SMP paling mendominasi. Yakni, 25,55 persen. Persis di bawahnya lulusan SD. Sebanyak 25,49 persen.

”Tidak tamat SD 14,80 persen. Lalu, tidak pernah sekolah 9,08 persen,” sebutnya.

Meski memprihatinkan, catatan BPS pada 2017 itu ternyata lebih baik dibanding 2015. Merujuk survei BPS, saat itu jumlah sarjana hanya 3 persen. Paling banyak saat itu lulusan SMP. Sebanyak 26,68 persen. Di belakangnya lulusan SD. Persentasenya 25,47. Sedangkan lulusan SMA/SMK 19,48 persen.
”Tidak tamat SD 13,08 persen. Kemudian, tidak pernah sekolah 12,29 persen,” tuturnya.

Mendengar hal ini, Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Gunungkidul Kisworo mengklaim telah berupaya untuk menekan angka putus sekolah. Di antaranya dengan pemerataan mutu pendidikan.
”Penerapan zonasi juga membantu anak usia sekolah melanjutkan jenjang pendidikan,” katanya. (gun/zam/fn)