Kendati dianggap sebagai salah satu solusi di tengah minimnya lahan, nyatanya para pengembang belum buru-buru untuk beralih ke konsep hunian vertikal. Mereka terkesan masih menunggu sambil menimbang untung-ruginya.

Dari segi pola pikir masyarakat, tentunya DIJ masih beranggapan rumah sesungguhnya adalah rumah tapak. Dengan minimal dua kamar tidur, satu kamar mandi, satu ruang tamu, satu dapur dan dilengkapi garasi. Sedangkan desain hunian vertikal masih berupa model studio.

Sekretaris DPD REI DIJ Ilham M Nur mengatakan untuk membangun hunian vertikal butuh modal yang banyak. Sehingga untuk pengembang di DIJ masih agak kembang kempis untuk beralih ke sana. “Secara material, tentu dari segi bangunannya yang butuh modal lebih banyak, karena kalau sudah bangun tidak mungkin berhenti. Sementara untuk hunian tapak kan bisa by progress,” ujar Ilham.

Bukan hanya itu, dari segi marketing pun juga ada pengaruhnya. Ilham menjelaskan, paling tidak dari seluruh kamar apartemen yang dibangun 60 persen harus terjual. “Kalau tidak bisa terjual di atas 60 persen kan bisa membengkak biaya modalnya,” jelasnya.

Bahkan, untuk pengurusan izin juga menjadi kendala tersendiri. Ilham menyebut izin untuk apartemen lebih kompleks. Itu akibat satu tower saja izin setiap kamar berbeda-beda.

Bahkan, kendala lain juga bisa hadir setelah hunian vertikal itu berdiri. Pengelolaan bangunan salah satunya. “Biasanya ada aturan tentang persatuan penghuni rumah susun (PPRS),” katanya.

Memang jika dilihat dari segi kuantitas, hunia vertikal lebih unggul. Sebab dalam satu lahan yang sama, jumlah tiap unit yang terbangun bisa berbeda.
Misalnya, dalam satu hektar lahan. Untuk hunian tapak bisa berdiri 100 unit. Sedangkan untuk hunian vertikal bisa sampai 500-1.000 unit. “Walapun apabila sukses, sebenarnya untungnya sebanding dengan risikonya,” ujarnya. (har/din/fn)