Ketika jalan tol yang mirip huruf Y di sisi luar Kota Semarang belum selesai, betapa tersiksanya pengendara mobil dari selatan (Jogja dan Magelang) kalau mau pergi ke Kudus atau Demak. Semua kendaraan harus melintas tengah Kota Semarang, menuruni Bukit Gombel, macet di Pasar Peterongan, Jalan Mataram barulah plong selewat Kota Lama mulai jalan menuju Demak.
Lambat dan banyak kemacetan di mana-mana. Dan, risiko rem blong pun selalu menghantui dikala melewati jalan meliuk di Bukit Gombel. Hal yang sama akan kita temui bilamana mau melintasi Kota Semarang menuju ke arah barat menuju Kendal sampai Jakarta.
Kini, semua kerepotan itu sudah hilang. Pelintas Kota Semarang pun dengan nyaman bisa langsung menggunakan jalan tol baik menuju arah barat maupun timur Kota Semarang. Semua itu bukan diselesaikan dalam tempo semalam atau satu periode jabatan seorang kepala daerah, tapi konsisten berkesinambungan oleh semua kepala daerah dari periode ke periode.
Pemerintah Kota Semarang dan Jawa Tengah berpuluh tahun berkolaborasi mengatasi semua persoalan kemacetan tersebut, yang memberikan manfaat baik bagi warga Semarang sendiri maupun pelintas kota. Sehingga, konflik dalam berlalu lintas antarpengendara lokal dan pelintas dari kota lain berdamai dengan baik.
Semua orang berpikir berkat adanya jalan tol, kemacetan di Kota Semarang dapat selesai. Namun, sebetulnya, bukan semata terbangunnya jalan tol saja masalah lalu lintas dapat diatasi. Problem utama pada sebuah jalan arteri bagaimana para pengendara lokal tak terganggu oleh kendaraan pelintas kota dan demikian pula sebaliknya para pelintas kota tak terganggu oleh riuhnya para pengendara lokal yang pasti lebih suka berjalan lambat. Sebaliknya, para pelintas kota pun punya kepentingan untuk berkendara dengan cepat menuju tujuan yang ingin dicapai.
Memang benar, tak semua kota besar butuh jalan tol. Sebab, jalan tol atau arteri itu punya peran yang sama yaitu melayani pelintas kota bisa memacu kendaraan dengan cepat. Dan sebaliknya, harus pula memahami sebagai jalan milik negara siapa pun punya hak untuk menggunakan jalan arteri.
Dalam konteks lalu lintas, apa pun bentuk jalan, merupakan sebuah sistem yang harus integrated dengan ruang lingkungannya berada. Artinya, sejauh jalan arteri mampu mensterilkan pengguna dari dua kepentingan yang berbeda tersebut, tentu suatu daerah yang tak punya jalan tol pun boleh saja. Dan memang, banyak kota dunia yang tak memerlukan jalan tol di dalam kota atau di luar kota.
Rupanya Kota Semarang tak selesai dengan persoalan warisan kemacetan lalu lintas masa lalu. Problem kemacetan kota pun mulai terurai dengan baik ketika banyak jalan tembus baru dibangun di seluruh ujung wilayah kota. Jalan yang lebar ada di mana-mana yang mengakibatkan pertumbuhan kota menyebar ke seluruh wilayah.
Semua kawasan itu saling terhubung dengan jalan yang cukup lebar sehingga dari wilayah perbukitan ke wilayah di pantura terjangkau dengan mudah. Tinggal sedikit pekerjaan rumah, bagaimana menciptakan aksesibilitas dari bandara dan pelabuhan agar menjadi lebih lancar. Semarang akan menjadi kota pantai yang indah kedua setelah Surabaya dan akan lebih bagus dari Jakarta.
Ketika infrastruktur perkotaan sudah selesai, siapa pun wali kotanya pasti akan mengarah ke objek pembangunan lainnya, yaitu: taman kota. Kota yang tertata indah adalah atraksi wisata tersendiri, yang tentu berbeda dengan objek wisata alam, warisan budaya, artificial parks, wisata olahraga, dan lain-lainnya.
Apapun keberadaan berbagai objek wisata yang tersebar di mana-mana, para wisatawan butuh pusat distribusi dan layanan wisatawan. Tentu pelancong ke Borobudur butuh tempat singgah dan istirahat di malam hari. Banyak syaratnya….
Potensi Semarang sebagai pusat industri wisata tentu sangat mudah dibentuk dengan terbangunnya jalan tol-arteri yang semakin bagus. Bilamana wilayah D.I. Yogyakarta tidak menghendaki adanya jalan tol, Pemprov Jawa Tengah dengan gampang membikin jalan tol dari Bawen menuju Mungkid, ibu kota Kabupaten Magelang yang berjarak 50 kilometer dan Boyolali-Prambanan Klaten berjarak 35 kilometer. Lewat jalan tol pula, kedua objek wisata dunia dapat ditempuh dalam waktu 75 menit saja dari Bandara Ahmad Yani atau Pelabuhan Tanjung Mas. Padahal, Bandara A. Yani Semarang bisa didarati pesawat yang langsung terbang dari Bandar Udara Schiphol di Belanda, yang sebetulnya pusat distribusi wisatawan penjuru dunia.
Kesemua itu menunjukkan bahwa infrastruktur jalan tol dapat mengubah suatu kota dan masa depan suatu kota. Semarang yang dimasa lalu lebih fokus hanya menjadi pusat perdagangan semata dan belum menggarap objek wisata kotanya, dalam waktu dekat dapat berubah bentuk menjadi pusat industri pariwisata kota heritage yang menarik.
Bukan hanya Gereja Blenduk yang menarik. Tapi, justru banyak bangunan kuno yang dibangun di abad 18 akan menjadi atraksi yang diinginkan wisatawan dunia. Kawasan heritage jangan hanya dipajang dan dikonservasi bangunannya.
Tetapi, harus menjadi kawasan yang hidup dengan berbagai atraksi atau pun sistem sosial yang berlaku di masa lalu. Semarang tak usah malu-malu mengakui bahwa negeri ini pernah dijajah bangsa Belanda. Justru harus ditunjukkan bahwa kota lama di masa lalu ibukota provinsi Pantai Utara Jawa bagian timur yang dipimpin oleh gubernur warga Belanda.
Kota sebagai sebuah sistem akan berinteraksi dengan sesama kota di kawasan lainnya. Sebagai sebuah sistem, tentu tak akan hanya terdiri dari infrastruktur semata atau birokrasi pemerintahan semata. Tapi, faktor manusianya pun sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan sebuah kota.
Bahkan, perilaku para pebisnis pun sangat mempengaruhi pertumbuhan sebuah kota. Sebuah kota yang tumbuh dan berkembang baik akan mengancam kota lain dan mendelusinya dari arena persaingan antarkota. Pertumbuhan Kota Semarang yang sangat bagus itu akan mengancam peran kota lainnya sebagai tourist hub, seperti Kota Jogjakarta dan Surakarta. Tinggal masalahnya, mampukah seluruh pelaku bisnis pariwisata di kota tersebut menggali dan mengembangkan potensi masing-masing?
Persaingan antarperusahaan itu sangat biasa dalam bisnis. Begitu juga dalam karier pada suatu profesi. Nah, konkurensi antarkota dan daerah itulah yang sering kali tidak bisa dipahami para pengelolanya, apalagi warganya. Sebagai pusat layanan jasa wisata, Jogyakarta pun bisa terdelusi oleh kota lain yang juga punya visi menjadi tourist hub juga. Selamat bersaing dan berkonkurensi. (*/amd)