JOGJA – Peringatan hari lahir ke-73 Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) menjadi momentum bagi NU dan Muslimat untuk bangkit membela bangsa. NU dan Muslimat harus menunjukkan mayoritas umat Islam di Indonesia toleran dan moderat.

Ketua Panitia Harlah Muslimat NU Yenny Wahid, menyatakan peringatan hari lahir yang dihadiri 100 ribu lebih ibu-ibu Muslimat di Gelora Bung Karno itu menjadi momentum NU dan termasuk Muslimat bangkit membela bangsa dan melakukan perlawanan.

“Saya bilang, The Silent Majority is Now Declare as Noisy Majority. Mayoritas yang diam sekarang telah menjadi mayoritas yang bersuara. Itu sikap keluarga besar NU melihat kondisi kebangsaan hari ini,” kata Yenny Wahid disela Harlah Muslimat ke-73, di Jakarta, Senin (28/1).

Seperti diketahui, peringatan Harlah Muslimat NU di GBK pada Minggu kemarin, dihadiri oleh Presiden Jokowi dan isteri, Ketua Umum PBNU KH Said Agil Siradj, Ketua Umum PP Muslimat Khofifah Indar Parawansa, serta para sesepuh NU dan beberapa menteri Kabinet Kerja.

Yenny tak menolak jika ada yang menyebut peringatan Harlah Muslimat yang mendatangkan seratusan ribu anggota Muslimat ke Jakarta sebagai manuver politis.  Tapi, lanjut dia, politisnya bukan politis praktis. Tapi lebih pada tataran kebangsaan. “Kami ingin menguatkan Aswaja (ahli sunnah wal jamaah) karena bisa menjawab tantangan-tantangan yang dihadapai komunitas Islam di Indonesia dan bahkan di dunia. Sebab di dalam Aswaja terkandung nilai-nilai tasamuh (toleran), tawasuth (moderat), tawazun (seimbang) dan i’tidal (adil),” kata putri kedua KH Abdurrahman Wahid itu.

Menurut dia, ada dua tujuan utama harlah digelar di Jakarta. Pertama, Muslimat melihat ada suasana tegang di tengah masyarakat menjelang Pilpres 2019. “Kami mengajak ibu-ibu Muslimat untuk meredakan ketegangan tersebut dengan cara memanjatkan doa bagi keselamatan bangsa,” ujar Yenny.

Kedua, lanjut dia, Muslimat dan NU ingin menunjukkan bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia merupakan umat yang toleran dan moderat. “Jadi sebenarnya Harlah Muslimat kali ini merupakan upaya menunjukkan kepada masyarakat agar jangan ragu tentang identitas umat Islam di Indonesia. Sesungguhnya umat Islam di Indonesia itu umat yang toleran dan cinta damai,” papar pemilik nama asli Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid itu.

NU sebagai salah satu ormas Islam terbesar di negeri ini, selama ini lebih memilih diam di saat bertebaran hoax, ujaran kebencian, dan bahkan fitnah. “Sekarang tidak boleh lagi diam. Kami juga ingin bersuara. Sebab kami yang jumlahnya banyak memiliki ideologi yang jelas, sikap kami juga jelas dalam hal membela negara. Demikian juga kecintaan kami kepada tanah air sangat jelas, terartikulasikan dengan melihat militansi ibu-ibu Muslimat yang datang ke GBK,” paparnya.

Meski NU selama ini memilih diam, Yenny meyakini bahwa keberadaan NU tetap menjadi faktor sehingga Indonesia tetap aman. Para kiai dan ulama NU terus berikhtiar agar masyarakat tetap tenang dan tak mudah termakan hoax atau ujaran kebencian. “Kalau tidak ada NU dengan semua banonnya (badan otonom), bisa jadi konflik sudah pecah,” tegasnya.(pra/ong)