JOGJA – Rentang waktu antara 1808 sampai 1812 adalah tahun-tahun yang banyak mengubah wajah Yogyakarta. Saat itu, gelombang Revolusi Prancis era Napoleon Bonaparte melanda dunia. Keraton Yogyakarta pun terkena dampaknya.

Ini menyusul jatuhnya Kerajaan Belanda ke tangan Prancis. Karena Perancis dan Kerajaan Belanda sedang menghadapi Inggris, Napoleon mencari orang yang cakap untuk menjadi gubernur jenderal di Jawa. Terpilih Herman William Daendels. Tugasnya mempertahankan Jawa tidak dikuasai Inggris.

Dalam laman kratonjogja.id disebutkan, pada 4 Agustus 1811 tentara Inggris menyerbu Batavia. Jawa akhirnya jatuh ke tangan Inggris.
Inggris berkuasa. Ini mengakibatkan Jawa menjadi bagian dari koloni Inggris yang berpusat di Kalkuta, India. Gubernur Jendral Inggris di Kalkuta Lord Minto menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai letnan gubernur di Jawa.

Saat itu, takhta Keraton Yogyakarta diduduki Sri Sultan HB II.
Raffles menunjuk John Crawfurd sebagai residen Yogyakarta pada November 1811. Kebijakan Raffles terkait pertanahan dan pengelolaan keuangan ternyata tidak jauh berbeda dengan kebijakan Daendels.
Sri Sultan B Buwono II tidak berkenan. Beliau menentang. Bahkan, menghimpun kekuatan.

Raffles melihat langkah Sri Sultan HB II sebagai sebuah ancaman. Pasukan Inggris yang dipimpinan Kolonel Robert Rollo Gillespie pun menyerang Keraton Yogyakarta. Pada 17 Juni 1811 malam hari, pasukan Inggris memasuki Yogyakarta. Pasukan Keraton Yogyakarta sukses menghalau tentara Inggris.
Keesokan harinya, Inggris mengirim utusan untuk bernegosiasi dengan Sri Sultan HB II. Utusan itu ditolak oleh Sri Sultan HB II.

Perang tak terelakkan. Sri Sultan HB II tak bersedia kompromi. Tembakan meriam terdengar dari arah Keraton Yogyakarta. Situasi Keraton Yogyakarta kala itu digambarkan oleh Mayor William Thorn, prajurit Inggris, sebagai benteng pertahanan yang kokoh. Di sekeliling Keraton Yogyakarta terdapat parit-parit lebar dan dalam dengan jembatan yang bisa diangkat sebagai pintu akses masuk. Ada pula beberapa bastion tebal yang dilengkapi meriam.

Tembok-tembok tebal mengelilingi halaman-halaman istana pun dilengkapi prajurit bersenjata. Pintu utama menuju Keraton Yogyakarta dilengkapi dua baris meriam. William Thorn mencatat, setidaknya ada 17.000 prajurit dan ratusan warga bersenjata tersebar di kampung-kampung. Mereka siap sedia mempertahankan wilayah Yogyakarta.

Pada dini hari 20 Juni 1812, meriam-meriam Inggris kembali menyalak. Serangan meriam ini mengarah ke Alun-Alun Utara, tepat ke arah pintu masuk Keraton Yogyakarta. Serangan besar-besaran dilancarkan sekitar pukul 05.00. Pasukan Inggris yang terdiri dari tentara Eropa dan pasukan Sepoy (India), dibantu pasukan dari Legiun Mangkunegaran, menyerang Keraton Yogyakarta.

Kekuatan utama serangan pasukan Inggris diarahkan ke sisi timur laut benteng.
Dalam Babad Sepehi disebutkan, bagian ini tidaklah terjaga kuat. Serangan tidak berjalan terlalu lama. Hanya beberapa jam, sudut benteng ini runtuh dengan diawali meledaknya meriam dan gudang mesiu. Sekitar pukul 08.00, benteng benar-benar jatuh ke tangan pasukan Inggris.

Pasukan Sepoy langsung mengarahkan seluruh meriam ke arah Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta jatuh. Sri Sultan HB II kemudian menyerah ketika pasukan Inggris berhasil masuk ke Plataran Srimanganti. Usai peristiwa ini, Keraton Yogyakarta mengalami kerugian sangat besar. Tak hanya kekayaan berupa materi yang dijarah. Banyak sekali kekayaan intelektual yang juga dibawa oleh pasukan Inggris. Ribuan naskah dari perpustakaan Keraton Yogyakarta diangkut ke Inggris. (amd/mg4)