JOGJA – Millenial voters merupakan salah satu segmen pemilih penting dalam pemilu serentak tahun 2019 ini. Tidak hanya karena secara kuantitas mencapai angka 30-40 persen, namun juga karena mereka memiliki karakter yang unik. Salah satu karakternya adalah penggunaan media sosial secara masif dalam kehidupan mereka sehari-hari, termasuk kehidupan politik dalam arti luas. Hal ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi peserta dan penyelenggara pemilu.
Demikian disampaikan Dr Dian Eka Rahmawati selaku ketua Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan (MIP) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Melihat fenomena itu, Magister Ilmu Pemerintahan (MIP) bersama Program Studi Ilmu Pemerintahan (IP) dan Laboratorium Ilmu pemerintahan (Lab IP) UMY menggelar kuliah umum dan pemaparan hasil riset di Gedung Pascasarjana UMY, Bantul, Jumat (8/3).
Hasil penelitian yang dilakukan Magister Ilmu Pemerintahan (MIP) UMY bersama Komunitas Independen Sadar Pemilu (KISP) menunjukkan bahwa sekitar 70 hingga 80 juta pemilih dalam Pemilu 17 April mendatang, berasal dari generasi millenial dengan kategori usia 17 hingga 35 tahun, atau mereka yang lahir tahun 1980-an hingga tahun 2000-an.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa saluran utama komunikasi politik mulai bergeser dari media cetak dan penyiaran ke media digital. Melimpahnya informasi, ide, maupun berita politik sekarang ini dapat disebarkan melalui internet dan teknologi komunikasi dengan arus informasi dua arah dan memungkinkan pengguna dengan mudah mencari jenis berita tertentu secara cepat.
Dari temuan di lapangan, aplikasi Instagram merupakan aplikasi yang banyak digunakan oleh generasi milenial di DIJ, yakni sebanyak 86,75 persen, disusul Whatshaap (65,5 persen), Facebook (63,75 persen), Twitter (45,75 persen), dan Line (38,5 persen). Sebanyak 54 persen millenial voters aktif berkomentar di media sosial. Namun 46 persen lainnya dari mereka menjadi silent reader.
Generasi milenial di DIJ relatif netral dalam pandangan politiknya. Mereka tidak begitu tertarik dengan keributan pemilihan capres maupun cawapres baik itu nomor urut 01 atau nomor urut 02. Itu dapat dilihat dari penggunaan hashtag dalam postingannya. Hanya 44 persen dari millenial voters menggunakan hashtag dalam postingan mereka.
Namun demikian, millenial voters itu tetap memiliki kriteria pemimpin yang diinginkan. Sebanyak 38,25 persen menginginkan pemimpin yang aktif di media sosial, 36,25 persen menginginkan pemimpin yang tegas dan pemberani, 22,25 persen menginginkan pemimpin yang santun dan sederhana, dan 3,25 persen menginginkan pemimpin yang demokratis.
Hasil penelitian itu semestinya menjadi data yang penting bagi peserta dan penyelenggara pemilu. Dengan memahami karakteristik millenial voters, perilakunya dalam bermedsos dan merespons pemilu, maka peserta dan penyelenggara pemilu bisa menentukan strategi untuk memaksimalkan partisipasi politik millenial voters pada pemilu mendatang.
Kuliah umum dan pemaparan hasil riset ini diikuti sekitar 150 mahasiswa MIP dan IP. Hadir sebagai pembicara dari Komisioner KPU DIJ Wawan Budiyanto S.Ag, M.Si, dosen MIP UMY Dr (cand) Tunjung Sulaksono SIP, M.Si, koordinator KISP sekaligus mahasiswa MIP UMY Moch Edward Trias Pahlevi SIP, dan moderator dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan UMY David Efendi SIP, MA.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) DIJ Wawan Budiyanto SAg, M.Si mengatakan, fenomena millenial voters memberikan reaksi politik yang beragam, terutama perubahan penggunaan media kampanye yang awalnya secara konvensional dengan menggunakan baliho, umbul-umbul, dan poster. Khususnya pada Pemilu 2019 media yang digunakan untuk menarik pemilih golongan muda sekarang sudah mulai bergeser menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, Line, Instagram, dan sebagainya.
Wawan menganggap bahwa tantangan pada pemilu serentak yakni mengenai penyebaran informasi hoax. KPU akan berusaha jika ada hoax akan langsung dikonfirmasi. Apalagi dari data yang didapat menjelaskan jenis hoax yang sering diterima adalah tentang politik dan pemilu. “Kami berharap millenial voters dapat turut serta menciptakan pemilu yang damai nantinya,” ujarnya.
Senada dengan Wawan, dosen MIP UMY Dr (cand) Tunjung Sulaksono SIP, MSi mengatakan, salah satu karakteristik generasi milenial sekarang ini lebih percaya user generated content (UGC) daripada informasi searah, lebih memilih ponsel dibanding TV, wajib punya media sosial, kurang suka membaca secara konvensional, dan tidak loyal namun bekerja efektif. “Anak zaman now itu individualistik, sangat bergantung pada teknologi, dan apatis terhadap politik,” katanya.
Oleh karena itu banyak tokoh politik saat ini mendadak menjadi seorang yang milenial dengan gaya bicara maupun busananya untuk mendekati generasi milenial. “Namun partai politik kita masih oligarkis, hanya segelintir orang yang memiliki kuasa dan orang-orang itu tidak milenial,” ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Komunitas Independen Sadar Pemilu (KISP) Moch Edward Trias Pahlevi SIP dalam pemaparannya mengatakan, daya jangkau dan intensifnya kampanye menggunakan media sosial saat ini mampu memasuki ruang-ruang yang sangat privat, khususnya bagi kalangan generasi milenial.
“Peluang tersebut tidak bisa dilewatkan begitu saja oleh para pelaku politik untuk menarik suara pemilih,” ujar alumni Prodi Ilmu Pemerintahan UMY yang saat ini menempuh pendidikan di MIP UMY ini. (*/laz/mg2)