KULONPROGO – Perbukitan Menoreh menyimpan sejuta potensi. Salah satunya rempah-rempah. Namun, potensi yang besar itu belum tergarap secara maksimal. Tak banyak warga yang meliriknya sebagai peluang usaha.
Anak-anak muda juga jarang yang bercita-cita sebagai petani, apalagi petani rempah. Padahal potensinya begitu besar. Padahal, peluang ekspor rempah-rempah cukup menjanjikan.
Nah, peluang inilah yang ditangkap oleh pasangan suami-istri Andhika Mahardika dan Nurrachma Asri Saraswati. Mereka mendirikan Agradaya sejak 2014 silam. Mereka mengembangkan pertanian organik dengan memberdayakan masyarakat.
Berkat kegigihan mereka, kini petani rempah-rempah dapat bernafas lega. Setidaknya ada 150 petani yang kini bermitra dengannya. ”Dahulu rempah mereka dijual dengan harga Rp 500 -Rp 1.000 ke tengkulak. Sekarang kami beli dengan harga Rp 2.000 hingga Rp 3.000 per kilogram,” kata Andhika.
Mereka berfokus pada dua jenis rempah yang pasarnya cukup baik untuk ekspor, yakni kunyit dan jahe. Salah satu negara yang kini menjadi tujuan ekspor produknya, yakni Belgia. Selain itu, ada pula beberapa produk lain seperti Teh Rosela, Teh Kembang Telang, dan Teh Kombucha. “Kami menjual produknya dalam bentuk kering dalam kemasan sehingga cukup tahan lama,” jelas Andhika.
Ia memusatkan kegiatan ini Joglo Agradaya yang berlokasi di Sendangrejo, Minggir, Sleman. Selain menawarkan berbagai sarana bermain, pengunjung juga dapat melihat proses pengeringan dan pengemasan berbagai produk Agradaya. “Monggo, mampir,” ajaknya.
Saat ini Agradaya menjalin mitra dengan petani di dua desa di Bukit Menoreh, yakni di Girimulyo dan Kokap, Kulonprogo. Selain memasarkan produk rempah yang mereka hasilkan, Agradaya juga memberikan berbagai macam pelatihan. “Ini agar mereka dapat menghasilkan produk yang maksimal, sehingga kualitas terjaga dengan baik,” jelasnya.
Pelatihan mencakup dari hulu sampai hilir. Pertama, menjelaskan secara prinsip bagaimana memanfaatkan bahan alami dalam berbagai proses budidaya tanaman rempah. Setelah itu, petani diajari bagaimana manajemen lahan yang baik. “Misalnya menghitung HPP (Harga Pokok Produksi) untuk menghitung biaya yang diperlukan tiap satuan produksi,” jelasnya.
Ada pula pelatihan membuat rumah surya untuk mengeringkan rempah setelah panen dengan memanfaatkan sinar matahari. Namun, dia sadar bahwa para petani ini tidak bisa selamanya menjalankan bisnis. Perlu ada regenerasi yang berkelanjutan. Maka dari itu, dia menginisiasi pula Komunitas Anak Bumi.
Anak-anak diajak belajar menghargai alam sekitar dengan dikemas seolah-olah bermain. “Misalnya, menggunakan pewarna alam, belajar reaksi bunga telang, bermain gobak sodor, dan masih banyak lagi yang lain,” jelasnya. (cr10/din/mg2)