JOGJA – Ada benarnya keluhan Kapolresta Jogja Kombespol Armaini. Hukuman yang dijatuhkan pada penjual minuman beralkohol (mihol) dari Pengadilan Negeri (PN) Jogjakarta belum memberikan efek jera. Peraturan daerah (Perda) Kota Jogja yang mengatur mihol dinilai juga sudah usang.
Contohnya dalam sidang tindak pidana ringan (Tipiring) di PN Jogja, Rabu(20/3), menjatuhkan hukuman pidana denda Rp 500 ribu kepada Raden Hendro Sadewo. Warga Pandeyan Umbulharjo yang ketahuan menjual mihol jenis vodka. Serta Nanang Setyo Budi dan Satya Setiawan, keduanya warga Gamping Sleman, denda Rp 400 ribu karena mengonsumsi mihol dan mengganggu ketertiban umum.
Hakim berdasarkan pada Perda Kota Jogja nomor 7 tahun 1953 tentang Izin Penjualan dan Pemungutan Pajak atas Izin Menjual Minuman Keras. Putusan hakim tersebut sebetulnya sudah lebih tinggi dari denda yang diatur dalam Perda yang ditetapkan 24 Oktober 1953 itu. Yang pelanggarnya didenda maksimal yang dikenakan hanya Rp 5.000 atau kurungan maksimal enam bulan.
Terkait hal itu Kadiv Humas Jogja Police Watch (JPW) Baharudin Kamba menilai sebenarnya penjual mihol ilegal bisa dijerat dengan Perda DIJ nomor 12 Tahun 2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol dan Pelarangan Minuman Oplosan. Yang denda maksimal bisa mencapai Rp 50 juta. “Tapi Kota Jogja memang perlu melakukan revisi atas Perda yang selama ini berlaku,” ujarnya Rabu(20/3).
Kamba mengatakan untuk memberikan efek jera selain menggalakan razia, dia menyarankan ancaman pidana penjara dimaksimalkan. Termasuk ancaman pidana dendanya. “Harapannya dengan ancaman maksimal lebih tinggi akan ada efek jeranya baik bagi korban maupun khususnya penjual,” jelasnya.
Koordinator Forpi Kota Jogja itu juga menyarankan ada aksi bersama masyarakat. Termasuk dengan memberikan sanksi social. Baik pada peminumnya maupun penjualnya. “Bisa dibuat sanksinya misalnya pindah tempat lainnya atau tidak mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah,” usulnya.
Tapi diakuinya, ada persoalan budaya ewuh pakewuh. Apalagi jika pelakunya itu masih ada hubungan keluarga dengan perangkat kampung atau wilayah. “Ini yang agak sulit untuk menegakannya,” kata dia.
Sementara itu Humas PN Jogjakarta Pandu Harahap memastikan putusan seorang hakim sudah berdasarkan berkas tuntutan maupun pembelaan pelaku. Tentang ketidakpuasan akan hasil tentunya memiliki sudut pandang berbeda.
“Denda maupun kurungan atas perkara merupakan hak dan kemandirian dari hakim. Tidak ada tendensi termasuk apakah putusan tersebut memberikan efek jera atau tidak. Karena jera itu subyektif dari pelakunya,” jelasnya.
Tapi Pandu mengakui ada denda dan kurungan maksimal. Namun penerapan sanksi tidak bisa serta merta. Karena sanksi maksimal adalah batas atas dari sebuah putusan. Tapi, lanjut dia, ada catatan khusus terhadap pelanggaran berulang. Hanya saja dia meminta adanya catatan khusus saat pengajuan tuntutan. Baik itu dari catatan kepolisian maupun jaksa penuntut umum.
“Kami juga punya catatan bahwa pelaku ini pernah sidang untuk kasus yang sama. Nanti kroscek antara data kami dengan pihak pengaju perkara. Kalau berulang bisa dijatuhi pidana yang sifatnya maksimal,” ujarnya.
Dalam aturan baku juga tidak ada pembeda antara golongan kadar alkohol. Alhasil penerapan hukuman cenderung sama, berupa tindak pidana ringan. Hanya saja akan menjadi catatan apabila mihol menjadi penyebab nyawa melayang.
Pandu menjelaskan kasus tersebut tergolong sebagai pidana kejahatan. Sanksi hukum tentu berbeda dengan tipiring. Pengajuan sanksi tetap berdasarkan hasil penyidikan kepolisian. “Kalau hanya jualan biasa masuknya pelanggaran dan kena tipiring. Tapi kalau seperti kasus Pakualaman dan Tegalrejo itu bisa masuk pidana kejahatan,” katanya.
Terkait efek jera, Pandu mendorong polisi memotong produsen utama. Penjual illegal, lanjutnya, hanya berjualan saat mendapatkan kiriman. Inipula yang menyebabkan peredaran mihol illegal masih terjadi. Dimana pintu suplai terbuka dari berbagai sisi.
“Kebanyakan yang ditangkap tidak punya izin berjualan. Harus melihat akar masalahnya dimana. Idealnya memang tidak hanya kategori masyarakat awam tapi juga sebaiknya menyasar produsen,” jelasnya.
Kapolresta Jogja Kombespol Armaini sempat mempertanyakan hasil putusan. Sebagai petugas penegak hukum, dia menjamin razia mihol terus berlangsung. Sayangnya perburuan ini tidak sejalan dengan putusan sanksi.
“Kalau denda sekian rupiah mereka bayar lalu bebas, besoknya kumat lagi. Kalau kurungan masih baguslah untuk memberikan efek jera,” tegasnya. (dwi/pra/mg2)