JOGJA – Lahirnya UU Keistimewaan yang kemudian memunculkan adanya dana keistimewaan (Danais), ternyata belum banyak dirasakan manfaatnya bagi masyarakat Jogjakarta. Sebagian besar yang merasakan adanya danais adalah pimpinan paguyuban dan pejabat.

Setidaknya itu yang muncul dari penelitian Prodi Ilmu Pemerintahan (IP) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Hanya 29 persen masyarakat DIJ yang merasakan manfaat adanya danais. Jauh jika dibandingkan manfaat yang dirasakan pimpinan paguyuban (33 persen) dan pejabat (20). Sisanya tokoh masyarakat (10), lainnya (7) dan karang taruna (1 persen).

Hasil penelitian itu disampaikan peneliti politik desentralisasi dan kesejahteraan yang juga dosen Ilmu Pemerintahan UMY David Efendi, dalam seminar di Gedung Ibrahim  5 UMY, Kamis (21/3). Selain itu, meskipun akuntabilitas pemanfaatan danais dinilai tinggi, 76 persen dalam survei 2015, masih ada anggapan praktik tidak fair dalam pemanfaatnya. Yaitu praktik jatah preman via anggota DPRD, ini menurut pandangan warga.

“Enam tahun adanya keistimewaan Jogja masih banyak yang perlu dibenahi. Adanya undang-undang ini salah satu bentuk desentralisasi yang tujuannya mewujudkan kesejahteraan. Sebab kewenangan istimewa ini diikuti anggaran yang besar. Tahun 2019 mencapai Rp 1,2 triliun,” bebernya.

Pandangan warga mengenai distribusi danais yang belum merata, meskipun cukup transparan dan akuntabel pengelolaannya, juga perlu jadi catatan. Selain juga pertanyaan apa kontribusi danais dalam kesejahteraan, menurutnya, juga rasional. Melihat betapa minimnya danais mendorong kesejahteraan. “Jogja harusnya sejahtera dengan Rp 1,2 triliun,” imbuhnya.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DIJ JB Priyono memaparkan, persentase penduduk miskin Jogjakarta dalam survei September 2018 sebanyak 11,81 persen. Lebih tinggi ketimbang rata-rata nasional yaitu 9,66 persen. Namun berbeda dengan daerah lain, DIJ menurutnya sebuah anomali.

Jika kemiskinan merupakan akumulasi lingkaran derajat pendidikan, kesehatan, kesejahteraan. Anehnya Jogja tidak bisa dinilai dengan parameter itu. Dilihat dari angka harapan hidup (AHH), DIJ berada di peringkat pertama dengan rata-rata usia harapan hidup 74,74 tahun. Selain itu, dari tingkat pendidikan, angka harapan sekolah (EYS) di DIJ juga di nomor satu dengan 15,42.

Tak hanya itu, dari tingkat kesejahteraan pengeluaran perkapita penduduk DIJ hanya kalah dari DKI Jakarta, Bali, dan Kepulauan Riau. “Dari data-data itu masyarakat bisa menilai keberpihakan kebijakan, apakah sudah menuju kesejahteraan atau belum,” tuturnya.

Sedangkan peneliti dari LIPI Yogi Setya Permana lebih menjelaskan mengenai gagasan desentralisasi. Lahirnya gagasan, menurutnya, ada pertarungan wacana, diskusi, ide dan sintesis. Juga sebuah pertarungan sejarah pascareformasi. “Bukan sesuatu yang terberi dan tidak datang dari ruang hampa,” katanya.

Yogi juga mengungkapkan, selain dari angka kemiskinan, yang juga perlu disoroti di DIJ adanya indeks gini yang juga tinggi. Menurutnya, demokrasi seharusnya menjadikan agar ketimpangan tidak terjadi. Karena membuka ruang politik terbuka. Sehingga saat ini menurutnya perlu dipastikan supaya dana kesitimewaan dapat menyelesaikan masalah ketimpangan. “Urgen untuk diselesaikan,” jelasnya. (*/riz/laz/mg1)