SLEMAN – Di antara tantangan paling terbesar adalah mempopulerkan jamu di kalangan milenial. Sama-sama menyehatkan, tapi jamu kalah tenar dibanding suplemen pabrikan.

JAUH HARI WS, Sleman

Dengan terampil, dua ibu rumah tangga berpakaian batik itu menunjukkan keahliannya. Mereka mengolah per satu bahan baku yang dibutuhkan. Sebagian ada yang ditumbuk. Namun, ada pula yang dihaluskan dengan alat modern: blender.

”Saya ingin melestarikan tradisi,” kata Sarjono.
Yang dimaksud Sarjono dengan tradisi adalah memproduksi jamu. Ya, Desa Merdikorejo, Tempel, Sleman dikenal sebagai salah satu sentra jamu. Di sana, ada 30 warga yang berprofesi sebagai produsen jamu. Mereka tergabung dalam Kelompok Bima Sejahtera. Nah, dua ibu rumah tangga itu adalah anggota kelompok yang berdiri pada 2004 ini.

Jauh sebelum kelompok yang dibidani Sarjono berdiri, usaha pembuatan jamu sebenarnya telah berjalan di Desa Merdikorejo. Jamak ibu rumah tangga yang memproduksi jamu sekaligus menjualnya sendiri. Aneka jamu, antara lain, beras kencur, kunir asem, dan temu lawak dijajakan berkeliling. Dari kampung ke kampung. Dengan cara digendong.

Namun, lama-kelamaan eksistensi jamu gendong Merdikoro itu redup. Kalah bersaing dengan obat-obatan maupun suplemen produksi pabrik modern.
”Jadi, pada 2004 kami putuskan untuk membuat kelompok Bima Sejahtera untuk mengakomodasi mereka yang ingin berjualan jamu,” tutur Sarjono ditemui di rumahnya, Kamis(4/4).

Bagi Sarjono, usaha produksi jamu sebenarnya merupakan dunia baru. Dia baru tertarik ikut berkecimpung setelah melihat tetangganya enjoy menekuni usaha produksi jamu gendong.

Seperti beberapa tetangganya, bapak dua anak ini pun ikut memproduksi jamu gendong. Namun, Sarjono tidak hanya memproduksi jamu cair, seperti kunir asem, beras kencur, temu lawak, dan cabe puyang. Melainkan juga berbentuk serbuk. Itu untuk menjawab perkembangan zaman.

”Yang berbentuk serbuk adalah jahe, secang, sari wortel, dan temu lawak,” ucap Sarjono menyebut beras kencur yang paling banyak dipesan.

Usaha produksi jamu, kata Sarjono, tidak hanya meningkatkan perekonomian warga. Lebih dari itu, juga menyehatkan banyak orang. Kendati begitu, mempertahankan eksistensi jamu bukan perkara gampang. Banyak kendala yang harus dihadapi. Legalitas, salah satunya. Kelompok Bima Sejahtera belum mengantongi sertifikat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

”Kalau undang BPOM harus ada apoteker. Sementara usaha kami masih kecil,” keluh Sarjono menyebut legalitas juga menuntut upah karyawan harus cukup besar.

Kendala lain adalah suplai bahan baku. Tak satu pun bahan baku jamu berasal dari Sleman. Pelaku usaha jamu di Merdikoro mengandalkan suplai dari Bantul, Kulonprogo, dan Gunungkidul. Namun, Sarjono dapat tersenyum lepas. Kelompok yang beranggotakan 30 orang ini mendapatkan lahan seluas setengah hektare.

”Rencananya, akan ditanami tanaman jamu. Ke depan juga akan dijadikan wisata edukasi jamu,” ungkapnya semringah.

Itu belum seberapa. Sarjono juga berangan-angan rumah warga disulap menjadi homestay. Itu untuk memfasilitasi wisatawan yang ingin menginap di wisata edukasi jamu.

”Posisi lahan sangat strategis, sehingga potensial menjadi desa wisata,” ucapnya optimistis.

Beragam rencana pengembangan wisata edukasi jamu telah disusun. Pun dengan strategi pengembangannya. Tapi, Sarjono bersama 30 anggotanya masih punya pekerjaan rumah besar. Yakni, mempopulerkan jamu kepada generasi milenial dan Z. Agar eksistensi jamu tak tergerus oleh berbagai inovasi dunia farmasi. Toh, jamu juga tak kalah menyehatkan. (zam/mg2)