MAGELANG – Warga Kampung Jagoan, Kelurahan Jurangombo Utara, Magelang Selatan, Minggu (21/4) kembali menggelar tradisi nyadran. Tradisi yang digelar setiap bulan Ruwah ini untuk mendoakan dan menghormati para leluhur. Di antaranya, Kiai Sawunggalih. Yakni, salah satu panglima Pangeran Diponegoro.

Yang berbeda, tradisi nyadran kali ini juga diramaikan dengan garebeg gunungan. Sembilan gunungan berisi berbagai hasil pertanian dan makanan diarak mengeliligi kampung.

MERIAH: Warga berpakaian Jawa mengarak gunungan mengelilingi Kampung Jagoan. (FRIETQI SURYAWAN/RADAR JOGJA)

”Tahun lalu, grebeg gunungannya hanya palawija. Tapi karena melihat masyarakat yang ikut garebeg kebanyakan adalah anak-anak, maka kami buatkan garebeg gunungan makanan untuk anak-anak,” kata Ketua Panitia Nyadran Ridar Umar di sela acara.

Bagi warga Kampung Jagongan, sosok Sawunggalih mirip dengan cerita Sawunggaling di Jawa Timur. Yakni, seseorang yang memiliki ayam aduan atau ayam jago yang tidak terkalahkan.

”Kata jago ini yang kemudian membuat kampung ini dinamakan Jagoan,” tutur Abdul Azis, tokoh masyarakat Kampung Jagongan.

Lurah Jurangombo Utara Sumidjan mengapresiasi respons masyarakat. Menyusul banyaknya gunungan dan makanan yang disumbangkan masyarakat. Juga banyaknya kesenian yang ditampilkan. Kendati begitu, Sumidjan tetap merasa ada yang kurang.

”Karena kondisi makam Kiai Sawunggaling yang berada di belakang bangunan Kantor KUA Magelang Selatan,” ujarnya.

Dari itu, beberapa tokoh masyarakat Kampung Jagongan meminta Pemkot Magelang peduli dengan keberadaan makam Kiai Sawunggalih. Setidaknya pemkot menata ulang dan memperluas kompleks makam. Toh, tidak sedikit peziarah yang datang. Baik dari Magelang maupung Jawa Timur.

Joko Mei Budi Utomo, seorang tokoh masyarakat Kampung Jagongan meyakini penataan dan perluasan kompleks makam bisa meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar.

”Ketika peziarah nyaman otomatis jumlahnya juga akan bertambah banyak,” katanya. (dem/zam/rg)