KITA tinggal di bumi yang dinamik, dengan lempeng-lempeng litosfera yang terus bergerak, menghasilkan terjadinya gempa bumi, kegiatan gunung api, dan aktivitas tektonik sepanjang jalur-jalur sesar (patahan). Semua ini memicu kejadian tanah longsor, aliran lumpur, dan tsunami. Di sisi lain, kepulauan Indonesia berada pada pertemuan antara Lempeng Eurasia, lempeng Hindia-Australia, dan lempeng Pasifik yang saling mendesak satu sama lain. Implikasi dari pertemuan lempeng-lepeng tersebut adalah terbentuknya sirkum-sirkum gunung api aktif, jalur-jalur pegunungan lipatan, sesar-sesar aktif, dan sumber gempa tektonik. Gempa Yang paling sering menelan korban justru gempa dangkal, seperti yang terjadi di Jogjakarta dan Klaten 2006. Gempa yang bersumber dari dasar laut, dengan kekuatan lebih dari 6,5 pada skala Richter berpotensi menghasilkan tsunami contohnya Aceh 2004, dan Palu 2018.
Letusan gunung api pada umumnya berkaitan dengan dua lempeng litosfer yang saling bertumbukan. Dalam peristiwa ini lempeng yang BJ- nya lebih besar akan menyusup di bawah yang lain, maka pada kedalaman antara 75 km-175 km, sebagian litosfer yang menyusup, akan melebur membentuk magma. Bila magma ini membumbung naik, mencapai permukaan, membentuk gunung api. Kegiatan gunung api dapat menghasilkan semburan debu dan abu, semburan bebatuan, awan panas beracun, dan ancaman sekunder berupa lahar.
Tanah longsor merupakan kejadian alam yang kadang-kadang melibatkan ulah manusia. Massa tanah dan batuan akan longsor bila gaya penggerak yang dipengaruhi oleh gaya berat material melebihi kekuatan penahannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi, antara lain, iklim, topografi, litologi, stratigrafi, struktur geologi, dan vegetasi. Lereng yang curam, erosi, pembebanan (misal oleh air atau bangunan), dan aktivitas manusia sering kali memicu kejadian longsor. Catatan sejarah membuktikan wilayah Indonesia kecuali Kalimantan, tidak pernah lepas dari bencana. Termasuk keruntuhan kerajaan-kerajaan besar di Indonesia disinyalir runtuh karena gempa bumi dan terkubur endapan vulkanik gunung api.
Pada saat ini sebuah era baru, dikenal dengan sebutan revolusi industri 4,0 tengah merasuki kehidupan masyarakat dunia. Seluruh komunitas, terimbas dampaknya. Revolusi industri 4,0 ditengarai terjadi sejak tahun 2015, mempunyai karakter disruptif. Keadaan berubah dengan cepat, kemapanan terusik secara tiba-tiba, tidak menentu, sulit diprediksi. penggunaan teknologi digital hampir di semua aspek kehidupan. Pemanfaatan jaringan internet dan teknologi informasi/komunikasi terjadi intensif serta masif. Berbagai kegiatan fisik digantikan cara virtual, peran manusia dialihkan ke mesin atau robot, pekerjaan yang dulu memerlukan media, saat ini tidak menggunakannya lagi, tidak memerlukan ruang, namun justru memperpendek jarak. Sebagian besar bisnis menawarkan, menjual produk, dan bertransaksi secara daring. Segala bentuk informasi dengan mudah dapat diperoleh melalui dunia maya.
Nilai-nilai yang ditawarkan oleh revolusi industri 4,0 dalam mitigasi bencana, antara lain, serba cepat, serba mudah, serba praktis, lebih efisien, dan biaya rendah. Namun demikian, para pemangku kepentingan dalam melaksanakan tugas-perannya, semakin dituntut untuk memiliki kecakapan sosial (social skills) berbasis teknologi informasi.
Dalam mitigasi bencana diperlukan komunikasi. Saat ini penggunaan alat teknologi informasi digital telah menjangkau berbagai kalangan, tidak membedakan jenis kelamin, umur, maupun lingkungan sosial. Masyarakat tidak membedakan gender ditengarai telah fasih memanfaatkan teknologi informasi dan media sosial. Maka, mitigasi bencana perlu memberdayakan potensi tersebut ditambah dengan pemanfaatan data secara masif.
Contoh yang telah dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah benar, yaitu mengembangkan sistem informasi pengurangan risiko bencana dengan teknologi digital yang diberi nama INARISK. Program tersebut merupakan portal mitigasi yang memberikan informasi tentang ancaman, kerentanan, kapasitas, dan risiko bencana. Sistem ini juga dapat menampilkan pantauan indeks ririko bencana. Sesuai dengan tuntutan revolusi industri 4.0, INARISK dapat diakses dengan menggunakan aplikasi android dioperasikan melalui telepon selular, dan menggunakan jaringan internet memanfaatkan personal komputer atau gadget lainnya. Semua pihak dapat melakukannya. Dengan membuka INARISK, seseorang dapat mengetahui, antara lain, potensi bencana alam apa saja yang menjadi ancaman, dan bagaimana intensitas kerentanan daerah tempat tinggalnya tersebut.
Di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, UPN Veteran Jogjakarta membangun sistem komunikasi lingkungan berbasis SMS untuk peringatan dini erupsi Gunung Sinabung. Dalam sistem ini masyarakat dapat melaporkan kejadian gejala vulkanisme Gunung Sinabung kepada operator menggunakan SMS, selanjutnya operator akan melaporkan kepada pihak berwenang, untuk dilakukan tindakan. Penyebarluasan instruksi tindakan juga dilakukan melalui SMS. Sistem ini merupakan prototipe sistem informasi yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi sistem informasi berbasis virtual yang cocok dengan era revolusi industri 4.0.
Kendala pelaksanaan mitigasi bencana berbasis digital terletak pada kapasitas sumberdaya manusia yang ternyata belum semuanya melek teknologi digital. Padahal teknologi ini menghemat ruang, menghilangkan jarak, mempercepat waktu dan karenanya menjadi lebih murah dibandingkan dengan teknologi mitigasi konvensional. Dengan demikian, sosialisasi perlu dilakukan secara gencar melalui berbagai program. Upaya yang dapat dilaksanakan, antara lain 1) membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang ancaman di sekitar; 2) menambah kepedulian masyarakat terhadap bencana melalui sektor pendidikan, penelitian, dan sosial-kemasyarakatan; 3) meningkatkan penggunaan teknologi informasi dalam penyebarluasannya. Program-program mitigasi bencana ke depan harus visioner, namun membumi, agar mudah dilaksanakan, dan masyarakat terhindar dari risiko yang lebih besar. (laz/er)