JOGJA – Terdapat tantangan besar dalam membangun keberlanjutan kopi di Indonesia, terutama di bagian hulu. Oleh sebab itu Institut Pertanian Stiper (INSTIPER) Jogjakarta meluncurkan Pusat Sains Kopi Indonesia sebagai pusat studi untuk menjawab masalah-masalah dalam industri kopi di Indonesia.

”Pertumbuhan budaya konsumsi kopi saat ini berdampak pada peningkatan kebutuhan kopi baik di Indonesia maupun luar negeri. Kopi sendiri merupakan produk global yang trendnya naik turun, jangan sampai ketika trend itu turun kemudian kopi hilang tinggal sejarah seperti komoditi yang lain,” jelas Rektor INSTIPER Purwadi dalam peluncuran Pusat Sains Kopi Indonesia di kampus setempat baru-baru ini (19/6).

Menurut Purwadi, ketika tren kopi sedang naik seperti sekarang masyarakat harus memikirkan bagaimana membangun keberlanjutan kopi itu sendiri. Terlebih masalah produksi kopi yang tidak bisa ditingkatkan padahal kebutuhan dan permintaan terus meningkat.

Di Pusat Sains Kopi Indonesia ini masyarakat maupun para penggiat kopi bisa menemukan big data tentang kopi yang juga menjadi pusat risetnya. Ada pula pembelajaran tentang pemanfaatan teknologi dalam revolusi industri 4.0.

”Pusat Sains Kopi Indonesia ini juga menjadi ajang penggodogan untuk regulasi pemerintah, penyiapan pengembangan SDM untuk industri kopi. Bisa menjadi rumah kopi untuk pelaku kopi yang bisa mendiskusikan bersama dan mencari solusi terkait membangun sustainability kopi di Indonesia,” papar Purwadi.

Sebelum acara peluncuran, digelar Forum Group Discussion (FGD) yang membahas bagaimana membangun sistem industri dan bisnis kopi yang berkelanjutan. FGD tersebut bertujuan sebagai ajang curah pendapat antar-stakeholder perkopian Indonesia yang terdiri dari perwakilan pemerintah, lemabaga riset, perguruan tinggi, Dewan Kopi Indonesia, serta pengamat dan penggiat kopi.

Ketua Dewan Kopi Indonesia Anton Apriyanto yang hadir dalam kesempatan tersebut mengatakan, produksi kopi di Indonesia saat ini sekitar 600 ribu ton/tahun dan habis untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri dan maupun luar negeri.

”Produksi kopi dalam 10 tahun terakhir bisa dikatakan stagnan, masalahnya bermacam-macam salah satunya 95 persen lahan kopi di Indonesia dikerjakan oleh petani kecil. Kemudian lahan itu berada di areal yang tidak mudah dijangkau atau dikelola, sehingga petani punya keterbatasan pemeliharaan dan sulit meningkatkan produksi,” ungkapnya.

Disebutkan Anton, sejumlah petani kopi sudah mulai melakukan penanaman dengan metode perkebunan yang lebih mudah untuk dikelola dan dipelihara. Menurutnya, para petani harus banyak yang beralih dari metode penanaman di hutan dataran tinggi ke metode perkebunan untuk meningkatkan jumlah produksi kopi.

Dengan adanya Pusat Sains Kopi Indonesia ini harapannya persoalan-persoalan di lapangan bisa diselesaikan, seperti tidak mudahnya mengelola tanaman kopi di area hutan. Dari sisi transportasi, harus ada inovasi untuk menurunkan kopi ke bawah dengan kereta gantung misalnya tentu membutuhkan biaya tidak sedikit.

”Yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah mendorong swasta dan petani untuk terjun ke sektor hulu dan yang sudah bergerak di perkebunan kopi juga harus terus dibimbing,” tegasnya. (ita/ila)