KONTROVERSI dan kisruh tersaji pada ritual tahunan PPDB di banyak tempat, mulai dari keluhan orangtua siswa mengenai ribetnya alur proses hingga protes ketidakpuasan orangtua dilayangkan dalam bentuk demo. Bahkan jika ditilik setahun ke belakang, aksi penyanderaan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, penyegelan gedung sekolah, pemalsuan SKTM dan pindah KK, demonstrasi, hilangnya etos siswa berprestasi karena nilai UN tidak menjadi dasar PPDB bahkan bunuh diri calon siswa karena kekhawatiran tidak diterima di sekolah favorit mewarnai PPDB. Rangkaian peristiwa yang terjadi tersebut mengindikasikan mendesak perlunya segera timbang ulang dan evaluasi sistem PPDB berbasis zonasi.

Pada rangkaian proses PPDB 2019 yang belum usai pun  akhirnya ‘terpaksa’ Kemedikbud merevisi Permendikbud Nomor 51/2018 yang sebelumnya sudah disahkan. Peraturan terbaru dituangkan dalam Permendikbud Nomor 20/2019 tertanggal 21 Juni 2019, kuota semula minimal 90 persen jalur zonasi menjadi 80 persen, kuota jalur prestasi maksimal 5 persen menjadi 15 persen, dan tetap 5 persen untuk jalur pindah tugas orangtua. Meski demikian, revisi aturan ini tidak menjamin bahwa berbagai kasus dan kontroversi serupa tidak terulang lagi.

Mari sejenak kita kuliti niat baik pemerintah tentang sistem zonasi. Tentulah setiap kebijakan pendidikan, termasuk diberlakukannya sistem PPDB berbasis zonasi memiliki kelebihan dan kekurangan. Rintisan sistem PPDB berbasis zonasi yang mulanya diadaptasi dari negara Jepang sebetulnya pemerintah ingin menyampaikan sebuah pesan positif menanamkan nilai-nilai karakter sejak dini. Di Jepang sendiri, lewat sistem zonasi siswa lebih diarahkan untuk belajar berteman baik dan kerjasama bukan bersaing, berjalan kaki ke sekolah dan tanpa diantar-jemput orangtua, dan kemacetan lalu lintas tidak terjadi.

Sementara itu sistem zonasi di Indonesia, pemerintah memiliki kewajiban untuk menyamakan dan meratakan mutu kualitas pendidikan sehingga harus ada kesetaraan kewajiban untuk sekolah-sekolah negeri milik pemerintah dalam menerima siswa baru dengan basis utama jarak rumah-sekolah. Nantinya kualitas siswa yang diterima akan terdistribusi merata, bibit siswa dengan nilai rendah hingga tinggi tidak terakumulasi di satu sekolah tertentu. Dengan begitu maka pemerintah berharap tidak akan ada lagi pelabelan sekolah favorit dan sekolah tidak favorit. Selama ini sekolah favorit identik sebagai sekolah dengan kemampuan akademik tinggi, bermotivasi tinggi, ekonomi berkecukupan dari para siswanya.

Selain itu, guna pemerataan akses layanan dan kualitas pendidikan sehingga tidak ada ketimpangan di kota maupun daerah. Sistem zonasi juga dimaksudkan membuat siswa lebih ‘sosialis’ tanpa hadirnya sistem kasta dalam interaksi dengan temannya yang beragam latar belakang dan kemampuan akademik. Aspek kesetaraan dan berkeadilan ini sesuai dengan ciri layanan publik milik pemerintah yang tidak boleh dikhususkan untuk kelompok/golongan tertentu saja (non-excludable), tidak boleh dikompetisikan berlebihan (non-rivarly), dan tidak boleh ada praktik diskriminatif (non- discrimination).

Niat baik pemerintah memproduksi layanan publik ini tidak diimbangi dengan prasyarat yang harusnya telah mampu dipenuhi pemerintah sebelum aturan penerapan sistem zonasi diketok palu. Hal ini menjadi landasan mendasar yang sangat penting mengingat kebijakan ini sebagai kebijakan yang bersifat nasional. Sementara fakta masih adanya ketimpangan kualitas-kuantitas pendidikan di berbagai wilayah Indonesia tidak dapat dipungkiri oleh pemerintah.

Pemerintah telah jauh hari menerangkan konsep Standar Nasional Pendidikan (SNP). SNP merupakan delapan kriteria atau standar minimal terkait pelaksanaan sistem pendidikan yang ada di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedepalan standar tersebut yakni standar isi, standar kompetensi lulusan, standar proses, standar  sarana prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, standar penilaian, dan standar pendidik dan tenaga kependidikan (PTK).

Menurut penulis, kedelapan standar ini dapat dijadikan acuan atau landasan pemerintah dalam setiap kegiatan baik perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan demi mewujudkan pendidikan nasional yang berkualitas. Tentu menjadi bahan renungan bersama, pemerintah dan masyarakat. Sudahkah kedelapan standar ini telah dijalankan sebagaimana mestinya di semua sekolah negeri milik pemerintah? Apakah kualitas-kuantitas guru di sekolah negeri sudah setara di semua zona?  Apakah ketersediaan sarana prasana dan pengelolaan sekolah yang baik sudah merata baik di kota maupun daerah? Beberapa pertanyaan pendahuluan ini menjadi penting dijawab karena erat betul kaitannya dengan sistem zonasi.

Pemerataan kualitas sekolah dan kualitas pendidikan tentulah tidak dapat dimaknai terbatas secara parsial hanya pada aspek input siswanya saja. Hakikat pemerataan kualitas harus menyentuh seluruh komponen terlebih termasuk guru dan fasilitas (sarana prasarana). Rotasi guru di dalam sistem zonasi menjadi keniscayaan yang harus dijalankan sesuai amanat Undang-Undang. Menurut penulis jika prasyarat dasar pemenuhan delapan standar belum mampu dipenuhi pemerintah sedangkan sistem zonasi tetap dipaksa dijalankan maka mutu pendidikan akan tetap tidak merata karena sistem zonasi tidak maksimal.

Berkaca dari berbagai kontroversi dan kekacauan yang terjadi, maka sudah selayaknya pemerintah menimbang ulang dan mengevaluasi sistem PPDB berbasis zonasi. Pemerintah juga perlu mematangkan konsep dan persiapan yang lebih mantap apakah pemerintah telah siap  betul memberlakukan zonasi, serta mempertimbangkan dampak positif-negatifnya jika memang zonasi tetap dipaksakan berlaku. Tanpa itu semua, niat baik pemerintah lewat tangan Kemedikbud tentang PPDB sistem zonasi hanya akan menjadi mimpi buruk bagi siswa dan orangtua siswa, bahkan akan menambah sengkarut kekacauan pendidikan nasional. (ila)

*Penulis merupakan guru pada MTs Darul Ishlah Sukorejo, Kabupaten Kendal dan Fasilitator pada Program PINTAR Tanoto Foundation Regional Jawa Tengah