GUNUNGKIDUL – Keberadaan orang dengan gangguan jiwa (ODG) di Kabupaten Gunungkidul perlu mendapat perhatian serius. Pemerintah mesti menyingsingkan lengan baju.
Sebab, sebagian besar ODGJ di Bumi Handayani masih berusia produktif. Mereka pernah sehat secara jasmani maupun rohani.
Berdasarkan data Dinas Sosial (Dinsos) Gunungkidul, jumlah ODGJ dalam pasungan di wilayah Gunungkidul adalah terbanyak dibandingkan kota dan kabupaten di Provinsi DIJ. Dalam hitungan angka, tercatat ada 21 orang.
Jumlah tersebut belum pasti. Jumlahnya bisa lebih. Sebab, selama ini ada ODGJ yang ”disembunyikan” oleh keluarganya. Alasannya, ODGJ dianggap sebagai aib.
Sebaran penderita ODGJ berada di delapan kecamatan. Panggang ada dua kasus. Playen tiga kasus. Nglipar dua kasus. Saptosari dua kasus. Rongkop empat kasus. Karangmojo satu kasus. Patuk dua kasus. Wonosari satu kasus.
Dari dua kasus di Panggang, diketahui ada satu ODGJ yang dipasung dan satu lainnya dikamarkan. Di Playen, tiga ODGJ dikamarkan oleh keluarganya.
Sedangkan di Nglipar, ada ODGJ yang dirantai, dipasung, dan dikamarkan. di Kecamatan Rongkop dan Karngmojo, sebagian besar kasus ODGJ dipasung.
Dua kasus ODGJ di Patuk, dua-duanya dipasung. Sedangkan di Wonosari, pemasungan dilukukan terhadap satu satu dua kasus ODGJ.
ODGJ di Saptosari sempat dipasung. Namun, kemudian sudah dibawa ke Dinsos DIJ.
”Totalnya ada 21 kasus. Di antaranya telah dibawa ke rumah sakit. Hari ini ada satu pasien dievakuasi,” kata Seksi Bina Rehabilitasi Sosial Dinsos Gunungkidul Winarto saat dihubungi Jumat (19/7).
Menurutnya, belum semua ODGJ dievakuasi untuk kemudian diobati. Ada kendala untuk menangani seluruhnya. Terbentur sejumlah persoalan. Oleh sebab itu, pihaknya terus berupaya melakukan penanganan.
”Kendala pertama ada di anggaran dan kedua butuh dukungan dari orang terdekat ODGJ untuk aktif memberikan informasi,” ucapnya.
Mengenai anggaran, setiap tahun nilainya tidak lebih dari Rp 100 juta. Pos anggaran itu juga digunakan untuk dana penjangkauan gelandangan dan pengemis (gepeng). Bahkan, juga dipakai membiayai permasalahan sosial lainnya.
”Sampai dengan sekarang, kami juga belum memiliki kendaraan untuk evakuasi ODGJ. Masih pinjam di Polres (Gunungkidul), Satpol PP, dan ambulans pihak swasta,” ungkapnya.
Menurut Winarto, keberadaan kendaraan operasional evakuasi ODG sangat dibutuhkan. Jika sewaktu-waktu ada panggiilan darurat maka kendaraan tersebut bisa langsung digunakan.
Selama ini, kendaraan harus pinjam sana-sini. Itu pun belum tentu tersedia.
”Lalu mengenai evakuasi, anggaran ada di provinsi (Pemprov DIJ). Setiap bulan rata-rata dijatah dua orang,” ucapnya.
Adakah peluang kesembuhan ODGJ? Winarto menjelaskan, bisa sembuh. Masa depan masih terbuka bagi ODGJ.
Asalkan, mendapatkan dukungan penuh dari berbagai pihak terkait. Dukungan itu mulai dari anggaran, keluarga, dan lingkungan sekitar. ”Karena ODGJ sembuh jika mengonsumsi obat,” ungkapnya.
Sementara itu, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) Kecamatan Saptosari Sadilem menekankan sulitnya penanganan ODJ pascapengobatan. Setiap hari ODGJ harus mengonsumsi obat. Padahal, kemampuan ekonomi pasien berbeda-beda.
”Obat kan beli ya. Oleh dinsos disarankan memanfaatkan kartu jaminan kesehatan atau klaim kemiskinan,” kata Sadilem.
Jika persoalan biaya tercukupi, masalah baru muncul. Biasanya, masalah datang dari orang-orang terdekat yakni keluarga dari ODGJ. Sebab, membutuhkan ketelatenan dalam merawat ODGJ. Kondisi demikian tidak semua orang mampu melakukannya.
”Di sini perlu sosialisasi yang intens,” ucapnya. (gun/amd/zl)