Lembaga Karate-do Indonesia hanya memiliki 16 dewan guru. Salah satunya berasal dari DIJ. Bagaimana sosoknya?

Bahana, Jogja

Perawakannya tidak tampak sebagai seorang atlet. Apalagi, atlet karate. Hijab yang selalu menghiasi penampilannya kian meneguhkan bahwa perempuan 53 tahun itu lebih pantas sebagai seorang pegawai kantoran. Bukan dewan guru karateka.

Tapi, itulah Eka Sri Asmarawati. Dia satu-satunya perempuan yang menjabat dewan guru karateka di Indonesia. Dan, jumlah atlet yang berada di kedudukan tertinggi di olahraga beladiri karate ini hanya 16 orang. Tidak semua daerah memiliki dewan guru.

”Ada seleksi administrasi dan teknik,” tutur Eka, sapaannya, kepada Radar Jogja Jumat (26/7).

Proses seleksi administrasi dan teknik ini cukup sulit nan panjang. Yang pasti, dewan guru wajib menyandang sabuk hitam dan lima.

Seleksi teknik, Eka mencontohkan, meliputi gerakan-gerakan jurus yang dikuasai dalam karateka. Setidaknya, memerlukan waktu lebih dari 30 tahun untuk bisa menjadi dewan guru.

Eka mulai tertarik karateka sejak memasuki duduk di bangku SMA atau ketika berusia 17 tahun. Bila beberapa teman sebayanya saat itu menjauhi olahraga yang berbau fisik beladiri, Eka justru tertarik. Jadi, dia langsung mengiyakan begitu ada tawaran masuk olahraga karate.

”Setelah latihan di dojo, pelatih mengatakan, bakat saya di karate sudah mulai kelihatan,” jelasnya.

Meski puluhan tahun berkecimpung di dunia karate, Eka belum pernah mencicipi gelar bergengsi tingkat nasional. Sebut saja gelar dari kejuaraan nasional.

Menjabat dewan guru bertahun-tahun, Eka merasa belum menemukan kepuasan. Sebaliknya, dia justru merasakan justru ada yang mengganjal dalam pikirannya.

Ya, ada aturan khusus bagi dewan guru. Seorang dewan guru dilarang mengajar di dojo. Eka merasa aturan ini mempersempit ruang gerak dewan guru.

”Kami semacam dijerat. Ini yang menjadi pertanyaan mengapa dewan guru dibatasi dengan aturan tersebut,” tuturnya.

Eka menyadari betul aturan itu tidak dibuat-buat. Aturan itu untuk menjaga marwah dewan guru. Sebab, dewan guru karate dianggap memiliki kekuasaan dan superior. Khawatirnya, kekuasaan ini digunakan untuk keputusan yang dilandaskan pada individual.

”Tapi kepengurusan sekarang, orang-orangnya tidak seperti itu. Aturannya harus diperhatikan lagi,” keluhnya.

Hal itu yang saat ini dialami Eka. Ilmu yang seharusnya bisa ditularkan jadi tersendat akibat peraturan tersebut.

”Beberapa dojo yang seharusnya saya pegang, saya berikan ke anak-anak. Saya melatih di tempat sendiri,” katanya. (zam/fj)