KRISIS legitimasi yang mendera Susuhunan Paku Buwono (PB) I berangsur-angsur dapat diatasi. Itu seiring dengan usia pemerintahannya. Seluruh kelompok oposisi dapat dikendalikan. Amangkurat III dan Untung Surapati beserta pengikutnya sudah menyerah.

Untuk mengamankan situasi, VOC memutuskan membuang Amangkurat III ke Ceylon atau Sri Lanka pada 1708. Raja ketujuh Mataram itu menjalani pembuangan didampingi beberapa anak laki-lakinya. Salah satunya Pangeran Tepasana. Dia adalah pengawal setia ayahnya. Kemana pun Amangkurat III pergi, Tepasana selalu ada di dekatnya.

Tepasana ini adalah ayah dari Raden Mas Garendi. Kelak saat Mataram dipimpin Paku Buwono II, cucu dari PB I, Tepasana meninggal. Kejadian itu memicu terjadinya Geger Pacinan atau pemberontakan orang-orang Tionghoa. Kartasura, ibu kota Mataram jatuh pada 1742. Garendi, cucu Amangkurat II itu didaulat menjadi raja. Gelarnya Susuhunan Amangkurat V.

Dengan dibuangnya Sunan Mas, sebutan lain dari Amangkurat III, tak ada lagi kekuatan oposisi ampuh. Semua nyaris lumpuh. Massa pendukung Amangkurat III juga lemas. Junjungan yang mereka idolakan telah dibuang jauh. Tak ada lagi komunikasi antara rakyat dan pemimpinnya. Ketika pemimpin sudah dijauhkan dari komunitasnya akan lebih mudah menjinakkan kelompok pendukungnya.

       Ini yang terjadi di Kartasura. Ibu kota Mataram itu perlahan-lahan mulai kondusif. Tidak ada lagi pergolakan yang berarti. Bersamaan dengan itu, PB I mulai mengonsolidasikan kekuatannya.

Dia juga mengatur proses suksesi. Poeger yang  naik takhta di usia yang tak lagi muda menunjuk anak sulungnya,  Pangeran Suryoputro, sebagai putra mahkota. Gelarnya Pangeran Adipati Anom Amengkunegara.

Putra mahkota ini lahir dari permaisuri Kanjeng Ratu Paku Buwono. Ibunda Suryoputro ini masih keturunan Pangeran Juminah. Putra Panembahan Senopati dengan Retno Dumilah dari Madiun.

Takhta yang diduduki Poeger bukan dengan cuma-Cuma. Tak ada makan siang yang gratis. Ada imbalan yang harus diberikan kepada VOC yang telah membantunya menyingkirkan Amangkurat III. Ada perjanjian baru yang harus ditekennya sebagai revisi atas kesepakatan yang sebelumnya dibuat Amangkurat II.

Ada 10 butir kewajiban yang harus dijalankan Poeger. Pertama, ada pengakuan ulang atas batas-batas Batavia. Termasuk daerah Priangan. Kedua, Cirebon diakui sebagai daerah kekuasaan VOC. Ketiga, separo Madura sebelah timur diserahkan ke Kompeni. Keempat, PB I mengakui kekuasaan VOC atas Semarang. Lima, VOC mendapatkan hak membangun benteng-benteng di mana pun di Pulau Jawa. Enam, Kompeni mendapatkan hak membeli beras dari Mataram sebanyak yang diinginkan. Tujuh, disahkannya monopoli atas impor candu dan tekstil oleh VOC. Delapan, Mataram wajib menyerahkan beras sebanyak 800 koyan  atau 1.300 metrik ton per tahun selama 25 tahun. Sembilan, ditempatkannya satu garnisun VOC di istana atas biaya raja. Sepuluh, larangan bagi orang Jawa  berlayar lebih jauh dari Lombok ke arah timur. Kalimantan ke arah utara dan Lampung ke arah barat. Adanya 10 kewajiban itu semakin menyulitkan posisi Mataram.

Intervensi VOC semakin dalam. Kelompok pemodal itu bukan hanya terlibat dalam intervensi militer dan suksesi penguasa Mataram. Namun  juga menguasai ekonomi Mataram. VOC banyak mendikte. Mataram tak kuasa menolaknya.(yog/rg/bersambung)