JOGJA – Bukan hanya sekali. Tapi empat kali, Kang Darjo -bukan nama sebenarnya- mengidap sipilis. Dia terkena ‘raja singa’ pada 2012, 2014, dan 2016. Pertama karena ‘jajan’ sembarangan. Kedua, dapat arisan. Sedangkan yang ketiga dan keempat bonus.
Petualangan Seksual Kang Darjo bermula saat dia melakukan penelitian sosial. Tentang dunia esek-esek. Dia mengaku salah jalur. Hingga terjerumus. “Masuk ke lingkaran itu tak mudah. Saya dulu berpikir harus nyoba,” kata Kang Darjo yang “klien” petamanya berbanderol Rp 500 ribu. Dia dapat setelah hunting lewat media sosial Twitter. “Pertama tahu kena (sipilis, Red) sangat kaget, syok. Kok keluar nanah,” tambahnya saat berbincang dengan Radar Jogja Minggu (4/8). Saat itu dia belum menikah. Tiap buang air kecil Kang Darjo merasakan perih pada alat vitalnya. Nanah keluar dengan sendirinya. Tak bisa ditahan. Dia bahkan harus sering ganti celana dalam. Sehari bisa empat hingga lima kali.
Dia lantas mencari tahu lewat Google. Tentang gejala yang dialami. Dia sempat berpikir, raja singa akan sembuh sendiri. Ternyata tidak.
Mentalnya pun down.Terpuruk. Panik. Kondisi itu yang dia rasakan saat itu. Berkecamuk. Sangat mengganggu psikologisnya. “Karena sipilis bukan saja penyakit. Tapi aib. Hati rasanya runtuh,” katanya.
Pria 35 tahun itu sebenarnya sadar. Hobi petualangan seksualnya berisiko tertular penyakit menular seksual (PMS). Raja singa tak akan mengenai seseorang kecuali dia hobi “jajan” sembarangan. Atau karena sering ganti-ganti pasangan. Apalagi jika saat “jajan” tanpa menggunakan pengaman (kondom). Pakai pengaman pun bukan jaminan untuk tidak tertular. “Kalau bocor ya tetap saja berisiko tertular,” ucapnya.
Kang Darjo akhirnya mencari tahu. Lewat komunitasnya juga. Tentang pengobatan sipilis. Dia pun mendapatkan referensi. Seorang dokter ahli kulit kelamin. Di wilayah Jetis, Kota Jogja. Dia mendatangi dokter itu.
Dokter memintanya untuk jujur. Tidak menutup-nutupi apa yang dia lakukan sebelum terkena gejala raja singa. Itu penting. Guna menentukan diagnosis. Dan upaya medis yang harus dilakukan. Kalau pasien tak jujur, dokter itu tak sudi menanganinya. Asal jujur, dokter juga menjamin kerahasiaan identitas pasien.
Kang Darjo pun bercerita apa adanya. Kalau dia hobi ‘jajan’ di ‘warung’ berjalan. Kang Darjo lantas diberi resep. Yang obatnya bisa ditebus di apotek. Dia dapat dua jenis pil. Yang sebutirnya Rp 60 ribu. Tapi dia lupa nama pilnya. Kang Darjo harus merogoh kocek sekitar Rp 300 ribu. Untuk sekali periksa. Sudah termasuk biaya obat. Obat itu ternyata sangat mujarab. Kang Darjo mengaku langsung sembuh. Setelah dua hari. “Sipilis memang bisa disembuhkan. Itu kata dokter,” katanya. “Minum obat itu bikin tubuh terasa kering, tapi dingin. Nyaman,” tambahnya.
Menurut Kang Darjo, di Jogjakarta banyak orang terkena sipilis. Termasuk anggota komunitasnya. Tapi, banyak yang tak mengakuinya. Karena malu. Rata-rata mereka juga runtuh secara mental saat pertama kali mengalaminya. Tapi selanjutnya seolah menjadi hal biasa. Seperti Kang Darjo.
Setelah sembuh, dia off sementara dari belantara esek-esek. Selama dua tahun. Dia pun menikah. Di rentang waktu itu.
Dua tahun Kang Darjo tak lagi ‘jajan’ sembarangan. Tapi, dia tetap sulit lepas dari jaringan komunitasnya. Sesama penikmat esek-esek. Di situ ada supliernya. Bahkan melibatkan aparat. Kang Darjo makin sulit keluar dari jaringan. Meski semua anggota komunitas memakai nickname. Alias nama samaran.
Itulah yang membuatnya kembali terkena raja singa setelah menikah. Apalagi pada 2014 dia menang arisan. Hanya dengan iuran Rp 100 ribu, Kang Darjo berhak mendapat “barang” istimewa seharga Rp 1,2 juta.
Ternyata itu menjadi petaka kedua baginya. Raja singa kembali menghinggapi Kang Darjo. Meski dia tak lagi panik atau down seperti saat pertama kali terkena. Sesegera mungkin dia mendatangi dokter langganannya. Sembuh lagi. Dalam dua hari pula. “Tidak khawatir karena tahu bagaimana harus bersikap,” katanya.
Kendati demikian, Kang Darjo merasa berdosa dengan istrinya. Yang kini telah memberinya dua anak. Apa pun yang terjadi, dia harus menutupinya. Agar tak diketahui sang istri.
Di sisi lain, Kang Darjo tak ingin istrinya tertular PMS yang dia alami. Dia pikir, berbohong menjadi satu-satunya jalan. Sehingga tiap kali diajak berhubungan, Kang Darjo selalu menolak. Dengan alasan kecapekan. Itu dilakukannya sampai dia benar-benar merasa sembuh dan sehat. “Setelah itu saya main aman. Cari sasaran yang benar-benar bersih,” katanya. Selang dua tahun, Kang Darjo kena sipilis lagi. Saat dia dapat bonus dari langganannya. Seorang mahasiswi. Gratis. Kang Darjo tak mampu menolak. Beberapa hari setelah itu, dia merasakan gejala seperti saat pertama kali terkena raja singa. Dia pun ke dokter lagi. Dapat obat lagi. Namun sang dokter menyatakan belum sampai terkena sipilis. Meski gejalanya hampir sama. Di tahun yang sama, Kang Darjo dapat bonus lagi. Mahasiswi lagi. Dan merasa gejala raja singa lagi. Dia ke dokter lagi. Sembuh lagi. Sampai sekarang. “Sekarang saya sudah bisa menahan. Lambat laun juga menjauh sendiri dari komunitas,” ujar Kang Darjo yang berniat meninggalkan dunia kelamnya.
Di Jogjakarta, tren penyakit sipilis memang tidak menunjukkan peningkatan yang tajam setiap tahunnya. Namun, ironisnya, tren itu justru terjadi pada usia produktif. Yakni 20-50 tahun. Terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Pun bagi mereka yang sudah menikah. Data pada Dinas Kesehatan DIJ menunjukkan, pada 2018 sebanyak 80 orang terdeteksi positif sipilis. Terdiri atas 57 laki-laki dan 23 perempuan. Enam di antaranya ibu hamil. Data itu diperoleh berdasarkan uji secara acak pada 9.229 orang.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Dinas Kesehatan DIJ Berti Murtiningsih mengatakan, sipilis tergolong penyakit infeksi menular seksual (IMS). Sipilis disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum. Penularannya hanya melalui hubungan seksual. Penyakit ini tidak menyebabkan case fatality rate (CFR) atau angka kematian. Berbeda halnya dengan penyakit IMS HIV /AIDS. “Sipilis hanya karena bakteri, bukan virus. Jadi bukan prioritas utama di bidang kesehatan. Tapi tetap kami amati,” ujarnya.
Menurut Berti, dengan penanganan medis yang tepat bakteri penyebab sipilis tidak akan meningkat menjadi penyakit yang fatal, seperti virus HIV. Kendati demikian, penderita HIV/AIDS ada kemungkinan juga terjangkit sipilis.
Kasus sipilis diketahui Dinas Kesehatan DIJ dari berbagai survei di tempat-tempat yang terindikasi sebagai lokasi praktik esek-esek. Seperti Pasar Kembang, kawasan Parangtritis, dan panti pijat. Kaum homo seksual termasuk sasaran survei. “Fokusnya adalah populasi kunci yang banyak tertular HIV/AIDS. Ternyata di luar itu kami mendapatkan juga kasus-kasus baru sipilis,” ungkap Berti.
Ada beberapa indikator untuk mendeteksi sipilis. Sipilis primer ditandai adanya luka tunggal yang sifatnya bulat, kenyal, bersih, dan tidak nyeri di daerah genetal. Gejala ini akan bertahan 3 – 6 minggu dan akan sembuh dengan sendirinya tanpa diobati.
Pada tingkat sekunder, terdapat ruam merah kecil tetapi tidak gatal yang muncul pada telapak tangan dan kaki. Jika tidak segera diobati akan menimbulkan demam dan pembesaran di bagian kelenjar getah bening, radang tenggorokan, rontok rambut, dan nyeri kepala. Apabila tak kunjung sembuh, gejala itu bisa bertahan selama bertahun-tahun. Meskipun penyakit itu tak akan menyebabkan penderitanya meninggal atau lemah.
Dari sekian banyak penderita sipilis, kata Berti, ibu hamil paling dikhawatirkan. Sebab, sipilis kongenital pada Ibu hamil terkadang tidak menunjukkan gejala. Atau gejala yang muncul tak terlihat. Jika tidak diobati bisa menyebabkan keguguran, kelahiran prematur, dan bayi lahir dengan berat badan rendah. Bahkan, bisa menyebakan kematian bayi yang dilahirkan. “Sipilis bisa diobati dan ada obatnya, seperti antibiotik. Ini banyak terjadi di masyarakat,” bebernya.
Guna mencegah sipilis pada ibu hamil, ini, Berti mengimbau masyarakat selalu setia terhadap satu pasangan dan menjaga kebersihan. Selain itu dengan program tes sipilis. (cr15/yog/rg).