BANTUL – Kabupaten Bantul, Sleman, dan Kota Jogja harus bersiap-siap kembali menghadapi tumpukan sampah. Sebab, warga yang tinggal di sekitar Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan berencana menggelar aksi blokade lagi.

Ancaman itu buntut kekecewaan warga. Warga RT 03 dan 04 Dusun Ngablak, Sitimulyo, Piyungan, Bantul dan RT 06 Dusun/Desa Bawuran, Pleret, Bantul geram dengan respons pemprov. Hingga sekarang, pemprov tak kunjung memberikan kejelasan perihal pemberian kompensasi.

”Kalau tidak terpenuhi dalam sepekan lagi, kami akan melakukan penutupan lagi,” ancam Parlan, koordinator warga saat dihubungi Selasa (6/8).

Warga telah berulang kali menggelar aksi blokade. Terakhir Rabu (31/7). Akibatnya, antrean truk pengangkut sampah mengular di depan pintu TPST. Aksi blokade baru berhenti setelah perwakilan pengelola TPST menemui warga.

Dalam pertemuan itu, perwakilan pengelola TPST bersedia menyampaikan aspirasinya kepada Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) DIJ. Di antaranya, tuntutan kompensasi Rp 400 ribu – Rp 500 ribu per kepala keluarga (KK) per bulan.

”Rencananya, besok Senin (5/8) perwakilan masyarakat terdampak akan diundang ke dinas (DLHK, Red),” jelas Pengawas TPST Piyungan Joko Riyanto usai pertemuan saat itu.

Hanya, pertemuan itu tak menghasilkan keputusan signifikan. Pemprov belum memberikan lampu hijau perihal kompensasi.

”Katanya, (perihal kompensasi) akan diobrolkan dulu dengan Pemkot Jogja, Pemkab Bantul, dan Sleman,” kata Suparlan mengutip salah satu permintaan pemprov.

Parlan menganggap tuntutan kompensasi uang tunai setimpal. Toh, besaran Rp 400 ribu – Rp 500 ribu per KK per bulan tak saklek. Warga masih membuka ruang negosiasi. Di sisi lain, warga telah lama merasakan berbagai dampak buruk TPST Piyungan. Mulai ceceran sampah, bau busuk menyengat, hingga sumber air tercemar.

”Itulah kenapa kami menuntut kompensasi tunai, untuk membayar air bersih atau kebutuhan lainnya,” tegasnya.

Terkait kompensasi lain, Parlan tak menutup mata bahwa pemprov telah mengucurkan bantuan. Hanya, bantuan yang disalurkan melalui pemerintah desa itu berupa fasilitas publik.

”Tak tepat sasaran. Warga juga harus mengajukan proposal dulu,” ucapnya.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala DLHK DIJ Sutarto membenarkan ada pertemuan dengan warga Senin (5/8). Hanya, pertemuan itu sebatas menampung berbagai keluhan dan aspirasi warga. Termasuk di antaranya tuntutan kompensasi.

”Kami bisa memahami apa yang diinginkan warga,” katanya melalui sambungan telepon.

Persoalannya, kata Sutarto, pemprov belum sanggup mengakomodasi tuntutan warga. Pemprov belum mengalokasikan anggaran untuk kompensasi berupa uang tunai. Di sisi lain, pemberian uang tunai belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.

”Kalau itu (kompensasi uang tunai, Red) diberikan bisa memicu dampak sosial. Karena yang terdampak tidak hanya tiga RT itu,” dalihnya.

Kendati begitu, Sutarto berjanji bakal bekerja keras untuk mencari solusinya. Apalagi, warga mengancam bakal memblokade kembali TPST Piyungan jika tak kunjung mendapatkan kompensasi.

”Karena TPST Piyungan menyangkut hajat hidup orang banyak,” tambahnya.

Terkait tuntutan warga, Anggota Komisi C DPRD DIJ Huda Tri Yudiana menilai, sebenarnya sangat wajar. Sebab, mereka terdampak langsung dengan TPST yang beroperasi sejak 1996 itu. Toh, kompensasi yang diberikan pemprov selama ini masih terbatas.

”Kompensasi selama ini baru melalui desa berupa jaminan kesehatan dan semacamnya,” katanya.

Karena itu, politikus PKS ini memastikan ada tambahan pemberian kompensasi tahun depan. Pemprov telah mengalokasikan anggaran untuk mengakomodasi tuntutan warga. Di antaranya untuk perbaikan jalan, pembangunan talut, hingga lampu penerangan. (cr5/zam/rg)