Angin berhembus kencang. Menerpa tanaman. Ada tanaman sayuran. Ada tanaman buah-buahan. Sebentar lagi panen. Petani tersenyum. Tak terlalu lama. Mereka akan memperoleh pundi-pundi rezeki. Kesejahteraan mereka terjaga. Sejak mereka mengupayakan tanah berpasir diolah menjadi lahan pertanian produktif.
Dibalik senyum mengembang. Ada rasa khawatir. Bisa saja. Kenikmatan hidup tak akan dinikmatinya. Ada kebijakan publik. Lahan mereka menjadi bagian dari zona kawasan industri baru. Membikin lahan pertanian sebagai sumber rezeki terancam.
Persoalan mengenai penolakan terhadap kebijakan publik. Barangkali. Bukan hanya milik komunitas kawasan pesisiran itu. Tapi perlawanan terhadap kebijakan publik, juga terjadi di komunitas lain.
Melihat realitas ada perlawanan pada kebijakan publik dapat dicermati lebih mendalam. Ada problem besar menjerat. Dampaknya komunitas memberontak padakebijakan publik. Meski kebijakan publik tersebut. Kadang benar-benar memberi kemanfaatan bagi khalayak. Sayangnya. Komunitas tak mau tau. Pendiriannya tetap kokoh. Tak setuju. Wilayahnya diganggu dengan proyek fasilitas publik.
Kondisi keengganan komunitas mengorbankan daerahnya digunakan untuk kebijakan publik. Seolah menunjukkan menipisnya rasa kepedulian terhadap kepentingan umum. Rasa sosial menipis. Kesetiakawanan telah retak. Nasionalisme luntur. Tak mempedulikan proyek negara.
Tetapi yang menjadi pertanyaan kritis. Apakah komunitas mengalami hal tersebut ? Belum tentu. Bisa jadi rasa kepedulian terhadap kepentingan umum dan kesetiakawanan masih kental. Terbukti ketika ada peristiwa bencana. Komunitas antusias membantu.
Namun saat bersinggungan dengan kebijakan dari pemegang otoritas kekuasaan. Mendapat perlawanan komunitas. Banyaknya perlawanan dari komunitas terhadap kebijakan yang diluncurkan oleh pemegang otoritas kekuasaan. Bisa jadi ada sesuatu masalah pada pemegang otoritas kekuasaan itu sendiri.
Hal yang menyebabkan perlawanan dari komunitas terhadap kebijakan publik. Sumber masalahnya berupa ketidakpercayaan terhadap pemegang otoritas kekuasaan. Ketidakpercayaan ini tumbuh disebabkan oleh kognisi sosial yang tertanam. Seperti pembangunan fasilitas publik tidak serta merta bermanfaat dan mensejahterakan masyarakat sekitar. Pembangunan fasilitas publik justru merusak kearifan lokal.
Lebih jauh kebijakan publik justru dimanfaatkan kelompok kepentingan tertentu sebagai proyek mendulang pundi-pundi yang disimpan untuk kantong pribadi. Bukti menunjukkan para pemangku kebijakan, legislator, politisi, dan pengusaha membangun jejaring mengeruk keuntungan besar dari proyek fasilitas publik. Aroma ini ternyata tercium oleh lembaga pemberantas korupsi. Sehingga tak sedikit para petinggi terjaring operasi tangkap tangan KPK.
Selain itu kebijakan publik yang dihadirkan bukan untuk kemaslahatan bersama. Namun fasilitas publik yang dibangun demi kepentingan kerajaan bisnis. Ketika tujuannya untuk bisnis. Komunitas tidak akan menikmati hasilnya. Bahkan komunitas bisa terpinggirkan. Mereka menghadapi persoalan sebagai dampak negatif dari pengembangan industri di wilayahnya. Ancaman kebijakan publik juga bisa merenggut mata pencaharian mereka.
Masalah itu terjadi di suatu wilayah pesisiran yang lain. Nelayan resah. Sejak ada pembangunan tambak skala besar oleh korporasi menimbulkan dampak pencemaran lingkungan. Setiap hari bisnis perikanan mengambil air laut menggunakan mesin. Menjadikan pesisir mengalami abrasi.
Begitu juga limbahnya dikembalikan ke laut. Sehingga membuat hidup nelayan terganggu. Kebijakan pengembangan wilayah industri perikanan membuat penghasilan nelayan berkurang. Sehingga kebijakan publik sekedar menguntungkan korporasi. Sebaliknya merugikan nelayan. Maka perlawanan pun dilakukan nelayan agar kebijakan publik membuka kawasan industri perikanan dibatalkan oleh otoritas.
Bukan hanya perlawanan pada otoritas. Konflik kepentingan antar komunitas acapkali terjadi. Satu kamunitas hadir mengawal kebijakan publik pemegang otoritas. Komunitas ada yang dimanfaatkan untuk keberlangsungan pembangunan fasilitas publik. Akibatnya berbagai peristiwa menunjukkan telah terjadi konflik horisontal antar komunitas. Kalau sudah seperti ini. Ongkosnya sangat mahal. Karena korban bisa berjatuhan.
Maka sebenarnya perlawanan yang digelorakan komunitas. Bukan sepenuhnya melawan otoritas. Mereka melawan karena mempertahankan ruang hidup.