JOGJA – Pemprov DIJ serius untuk melakukan evaluasi upah minimun provinsi (UMP) DIJ. Termasuk melakukan evaluasi Standar Harga Belanja Barang dan Jasa (SHBJ) di DIJ.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DIJ Budi Wibowo menyebut, jika SHBJ membayar tenaga kerja Rp 55.000 perhari dikalikan 24 hari bekerja, maka penghasilan perbulan hanya Rp 1,32 juta. Masih di abwah UMP DIJ 2019 yang ditetapkan sebesar Rp 1,57 juta.
“Harus dibayar di atas Rp1,32 juta agar (penghasilan) tidak di bawah garis kemiskinan,” katanya Selasa (19/8). Sehingga, lanjutnya, bila ada kegiatan fisik yang melibatkan pekerja, maka untuk tidak di bayar di bawah Rp 55 ribu.
Menurut dia, upaya menaikan UMP DIJ secara signifikan bisa segera dilakukan. Upaya itu pun sebenarnya mendapat dukungan penuh dari Gubernur DIJ Hamengku Buwono X.
Mantan Sekda Kulonprogo itu menambahkan, pemprov saat ini tengah melakukan survei pasar terkait standar keadaan hidup layak (KHL). Hasil survei pasar tersebut, yang nantinya akan dibenahi. “Misalnya hasil survei di Kota Jogja nilainya Rp 1,8 juta, tapi di Gunungkidul hasilnya hanya Rp 1,6 juta, maka di perkirakan keluarga di Gunungkidul akan tetap miskin,” jelasnya.
Meski menurut dia, penghasilan rata-rara di seluruh kabupaten tidak bisa dipukul rata. Namun, dia berharap penghasilan satu keluarga harus di atas garis kemiskinan.
Sedang Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIJ Andung Prihadi Santosa mengatakan jika melihat regulasi PP No.78/2015 maka skema kenaikan UMP masih berlaku hingga 2020. Yaitu, penetapan PP tersebut masih menjadi parameter KHL untuk menentukan UMP.
“PP tersebut baru bisa diperbarui setelah 2020. Untuk sementara yang digunakan masih skema yang lama,” kata Andung.
Meski demikian, pemprov tetap dalam komitmennya, ntuk mengevaluasi UMP untuk diterapkan pada tahun depan. Upaya tersebut akan dilakukan dalam pembahasan bersama
Terkait penetapan PP No.78/2015 yang menjadi parameter KHL untuk menentukan UMP, Budi mengatakan, hal itu tergantung dengan parameter yang digunakan. Maka dari itu, pengambilan parameter tidak harus barang yang nilainya yang paling bawah. Padahal, lanjutnya, bisa saja diambil yang sedang atau paling mahal. “Jangan diambil yang paling murah. Akhirnya tingkat kemiskinan dan UMP di DIJ selalu di posisi ke-34,” jelasnya.
Budi juga menepis munculnya kekhawatiran jika UMP tinggi bisa ditinggalkan para investor. Menurutnya, dengan pertumbuhan ekonomi 7,5 persen dengan peluang investasi yang besar di DIJ, maka kekhawatiran itu tidak mendasar. “Banyak investor yang akan masuk ke DIJ dengan peluang investasi yang disiapkan,” katanya. (bhn/pra/er)