UPAYA konsolidasi Susuhunan Amangkurat V alias Sunan Kuning terus berlanjut. Setelah menetapkan rencana operasi menyerang ibu kota Mataram di Kartasura, Sunan Kuning mengumumkan kabinetnya.
Bupati Pati Mangunoneng diangkat menjadi patih. Sedangkan Bupati Martopuro menjadi panglima angkatan bersenjata. Namanya diubah menjadi Sujunopuro. Pemilihan Mangunoneng ini bukan tanpa dasar.
Dibandingkan pejabat Mataram lain yang ada di barisan Amangkurat V, Mangunoneng merupakan birokrat paling senior. Sejak lama dia menjadi kepercayaan Notokusumo, patih kepercayaan Paku Buwono II di Kartasura.
Mangunoeng juga menjadi guru politik Jayaningrat. Putra Notokusumo itu kemudian menjabat bupati Pekalongan. Dengan jejak rekam itu, pengalaman Mangunoneng di birokrasi tidak diragukan lagi. Notokusumo yang tengah berada di Semarang menyambut gembira dengan penunjukan Mangunoneng.
Saat itu karir politiknya tengah di ujung tanduk. Ini terjadi pasca keputusan Kartasura berbalik menyerang laskar Tionghoa dan kembali bermitra dengan VOC. Keputusan itu membuat langkah Notokusumo terjepit. Sebab, selama ini dia berada di barisan terdepan penyokong pasukan koalisi Mataram-Tionghoa. Notokusumo beberapa kali memimpin pertempuran melawan Kompeni. Termasuk saaat Mataram menguasai benteng VOC di Kartasura.
Kini situasinya telah berubah. Notokusumo menyadari Paku Buwono II dan Kompeni tidak lagi menaruh kepercayaan kepada dirinya. Cepat atau lambat dia sadar akan diganti. Jabatannya sebagai patih tinggal menghitung hari. Dengan diangkatnya Mangunoneng sebagai patih di kubu oposisi merupakan kabar baik. Dia berharap Mangunoneng dapat menyelamatkan posisi anaknya.
Notokusumo juga merasa tetap bisa memegang kendali di tengah krisis politik tersebut. Ini karena Mangunoeng menjadi patih Amangkurat V dan dirinya menjabat patih Paku Buwono II. Siapa pun rezim yang berkuasa, situasi Mataram akan tetap dapat dikendalikan. Baik Notokusumo maupun Mangunoneng berada dalam satu kubu.
Perintah pasukan Mataram agar menarik diri dari laskar Tioghoa dijalankan Notokusumo. Bersama pasukannya dia meninggalkan Demak menuju Semarang. Setiba di Semarang, Notokusumo memberi tahu Tirtawiguna, sekretaris Paku Buwono II. Dia juga mengirimkan surat ke Hugo Verijsel, penguasa VOC di Semarang. Notokusumo ingin melakukan silaturahmi ke Verijsel.
Tanpa sepengetahuan Notokusumo, Verijsel mempersiapkan skenario menangkap patih Kartasura itu. Sang patih berangkat menumpang kereta dikawal tiga orang prajurit. Sebagian besar pasukannya tinggal di perkemahan di daerah Lemper, Semarang.
Saat tiba di loji Kompeni, Notokusumo disambut Verijsel dan koleganya Herman Thellis. Kedua pejabat VOC itu mempersilakan Notokusumo duduk di kursi yang disediakan. Tak lama kemudian Notokusumo ditangkap. Penangkapan terjadi pada 17 Juni 1742. Patih yang malang itu akhirnya dibuat ke Srilanka.
Kabar penangkapan Notokusumo itu segera menyebar. Reaksi keras ditunjukkan Kapitan Sepanjang dan Martapuro. Panglima laskar Tionghoa itu bertekad melanjutkan perjuangan Notokusumo. Sedangkan Martapuro merasa kehilangan atasan sekaligus guru politik yang ahli strategi.
Penangkapan Notokusumo memicu semangat laskar Tionghoa dan pasukan Sunan Kuning. Laskar Tionghoa yang terkonsolidasi di Ungaran, Lasem, Blora, dan Salatiga langsung bergerak menuju Kartasura. Pasukan ini bergabung dengan prajurit Sunan Kuning yang bertolak dari Grobogan. Tujuan mereka satu. Merebut ibu kota Mataram di Kartasura. Inilah awal terjadinya Geger Pacinan. (laz)