GERAKAN oposisi Sunan Amangkurat V atau Sunan Kuning ini bukan lagi sekadar melawan Kompeni. Dalam mengobarkan semangat perjuangan, mereka juga mengobarkan gerakan Ganti Raja. Mereka menggelorakan isu anti Sunan Paku Buwono II. Saatnya raja Mataram lengser. Diganti raja baru, Sunan Amangkurat V.
Jumlah massa pendukung oposisi ini kian hari semakin bertambah. Bahkan orang Jawa yang bergabung lebih ketimbang laskar Tionghoa. Angkanya mencapai lebih dari 20 ribu prajurit. Beberapa orang bangsawan Mataram juga bergabung.
Ribuan pasukan Sunan Kuning ini bergerak cepat. Sasarannya hanya satu. Rebut, duduki dan kuasai ibu kota Mataram di Kartasura. Kondisi ini menimbulkan kepanikan dan ketegangan di lingkungan istana. Tumenggung Tirtawiguna, sekretaris Paku Buwono II segera menghubungi Hugo Verijsel, penguasa VOC di Semarang. Kartasura memerlukan bantuan garnisun Kompeni.
Permintaan itu disanggupi. Namun saat akan merealisasinya, Verijsel dilanda keragu-raguan. Dia tidak ingin mengulang kesalahan. Pengalaman mengajarkan elite-elite Mataram tidak dapat dipercaya sepenuhnya oleh VOC.
Sebelumnya pada 10 Agustus 1741, Paku Buwono II pernah memerintahkan pasukan Mataram menyerbu benteng VOC di Kartasura. Saat itu Mataram masih berkoalisi dengan laskar Tionghoa. Akibat serangan itu, serdadu VOC kalah. Komandannya Van Velsen akhirnya dieksekusi. Kejadian ini sangat melukai perasaan Verijsel.
Dia kemudian berubah pikiran. Pasukan VOC akan dikirimkan ke Kartasura dengan sejumlah syarat. Dia minta beberapa kerabat Sunan diserahkan ke Semarang. Mereka dijadikan jaminan atau semacam sandera oleh Kompeni. Antara lain Raden Mas Gusti (RMG) Suryadi, putra mahkota Paku Buwono II, pangeran Hangabehi, para putra Patih Notokusumo dan Tumenggung Pringgalaya. Kompeni minta mereka dibawa ke Semarang. Baru diizinkan pulang ke Kartasura setelah perang selesai.
Sunan keberatan dengan tawaran itu. Terutama menyangkut penyerahan putra mahkota. Terjadi negoisasi yang alot dan berkepanjangan. Di tengah suasana itu muncul kabar mengagetkan. Pasukan Sunan Kuning berhasil menguasai semua jalur menuju Kartasura. Ini berdampak luas biasa. Hubungan Semarang dengan istana Mataram menjadi terputus total.
Sunan Kuning didampingi sejumlah panglima perangnya memutuskan menyerang Kartasura melalui jalur barat. Yakni Salatiga dan Ungaran. Jalur ini dipakai dengan harapan bekas pasukan Notokusumo, mantan patih Kartasura yang telah ditangkap VOC di Semarang, bisa menggabungkan diri dengan mereka.
Penyerangan besar-besaran itu diawali dengan upacara ritual di Desa Gubuk, Grobogan. Di markas perjuangan ini, Amangkurat V lebih dulu berziarah ke makam suci di desa tersebut. Setelah itu, pasukan bergerak. Kekuatan Sunan Kuning terdiri atas tiga brigade prajurit Jawa. Ditambah tiga brigade pasukan Tionghoa.
Rombongan Sunan Kuning meninggalkan markasnya pada akhir Juni 1742. Pasukan Sunan Kuning bergerak tanpa mendapatkan perlawanan berarti. Ungaran dan Salatiga dengan mudah direbut. Tumenggung Martapuro berhasil memukul mundur pasukan Kartasura di Ampel, Boyolali.
Memasuki 30 Juni 1742, prajurit Sunan Kuning memasuki ibu kota Mataram. Kartasura sudah mereka kuasai. Kapitan Sepanjang berada di garis terdepan. Sedangkan Martapuro dan Patih Mangunoneng berada di belakang. Keduanya bertindak sebagai pengawal Amangkurat V, raja yang usianya masih remaja, 16 tahun.
Mereka tengah berjalan menuju alun-alun Kartasura. Sebelum pasukan Sunan Kuning sampai, Kapten Baron von Hohendorff dan anak buahnya lebih dulu ada di dalam istana. Dia melihat Paku Buwono II berdiri kebingungan. Sunan terlihat memegang tombak. Sejarah seakan-akan kembali terulang. Untuk kali kedua ibu kota Mataram jatuh ke tangan musuh.
Pada Juni 1677 atau 65 tahun sebelumnya, kejadian serupa pernah dialami Sunan Amangkurat I, kakek buyut Paku Buwono II. Ibu kota Mataram yang saat itu berada di Plered berhasil direbut Trunajaya. Amangkurat I terpaksa menyingkir ke Banyumas. Kini kejadian serupa dialami cucunya. Penguasa Mataram untuk kali kedua harus kehilangan istana. (kus/ila)