DI TENGAH kemelut politik yang menerpa istana Kartasura, beberapa elite Mataram justru melakukan manuver politik. Ada keinginan mereka menggeser kedudukan raja. Pergeseran dilakukan setelah VOC berhasil mengusir Sunan Amangkurat V alias Sunan Kuning dari Kartasura.
Tanda-tanda itu mulai terlihat. Di beberapa kali pertempuran, laskar Tionghoa yang menjadi penopang kekuatan Sunan Kuning kalah. Koalisi pasukan VOC dan Madura mulai bergerak menuju Kartasura. Laju pasukan koalisi ini sulit dibendung.
Saat bersamaan takhta Mataram dinilai komplang atau kosong. Sunan Paku Buwono II yang sebelumnya bertakhta telah menyingkir ke Ponorogo. Tak jelas, Sunan akan kembali berkuasa atau tidak.
Di tengah situasi yang belum menentu itu, beberapa elite kerajaan berupaya memanfaatkannya dengan mengajukan proposal ke VOC. Isinya ingin menjadi raja dengan meminta dukungan penuh Kompeni.
Salah satu elite yang terang-terangan ingin menjadi Sunan Mataram adalah Pangeran Mangkubumi. Mangkubumi terlahir dengan nama Raden Mas (RM) Sujana. Ibunya bernama Mas Ayu Tejawati, salah seorang selir Sunan Amangkurat IV. Dia merupakan adik beda ibu dengan Paku Buwono II.
Mangkubumi merasa punya legitimasi menjadi raja. Alasannya saat itu dia menguasai salah satu pusaka andalan Mataram tombak Kyai Pleret. Tombak pusaka itu berhasil diamankan Mangkubumi sesaat sebelum istana Kartasura jatuh ke tangan Sunan Kuning.
Saat itu Paku Buwono II telah meninggalkan keraton. Sedangkan Sunan Kuning telah perjalanan menuju Kartasura. Rombongannya masih berada di Desa Ngasem, di dekat Kartasura. Tak ada raja yang bertakhta di singgasana. Mangkubumi kemudian masuk istana. Dia berhasil mengamankan tombak Kyai Pleret.
Dari mitos di kalangan masyarakat Jawa, seseorang yang bukan keturunan langsung dari Sunan Mataram yang tengah bertakhta, dapat dinobatkan menjadi raja bila punya legitimasi. Penguasaan pusaka kerajaan menjadi salah satu legitimasinya. Itulah yang menjadi dorongan Mangkubumi ingin menjadi penguasa Jawa.
Keinginan Mangkubumi menjadi raja itu dikemukakan saat mendatangi loji VOC di Semarang. Kepada penguasa VOC Mangkubumi menawarkan diri menggantikan kakaknya. Namun keinginan Mangkubumi itu ditolak para petinggi Kompeni di Semarang.
Kelak hasrat Mangkubumi menjadi raja baru terealisasi setelah ibu kota Mataram berpindah ke Surakarta. Tepatnya 13 tahun setelah peristiwa Geger Pacinan pada 1742. Mangkubumi meneken perjanjian dengan Direktur Pantai Utara Jawa VOC Nichoaas Hartingh. Perjanjian ditandatangani di Desa Giyanti pada 13 Februari 1755. VOC mengangkat Mangkubumi menjadi raja atas separo wilayah Mataram. Gelarnya Sultan Hamengku Buwono. Perjanjian diteken di masa raja Mataram beralih dari Paku Buwono II digantikan anaknya, Paku Buwono III.
Kembali ke krisis Kartasura, VOC berpendapat mengganti Paku Buwono II dengan orang lain justru akan menyulitkan posisi kongsi dagang Belanda tersebut. Selain itu akan membuat situasi Mataram bertambah rumit. VOC harus bersiap-siap menghadapi banyak pemberontakan. Baik dari kerabat kerajaan maupun para bupati yang tidak senang dengan raja baru.
Kapten Von Hohendorff termasuk yang menentang keras hasrat Mangkubumi menjadi raja. Dia menolak segala upaya mengganti Paku Buwono II. Dia mengetahui loyalitas para bupati terhadap Paku Buwono II masih tinggi. Itu ditunjukkan dalam sebuah pertemuan di Ponorogo.
Dalam pertemuan itu Hohendorff ingin membawa Sunan dari Ponorogo menuju Semarang melalui Surabaya. Namun rencana itu ditolak para bupati tersebut. Mereka kompak berpandangan geografis Ponorogo cukup mendukung untuk melindungi Paku Buwono II dari serangan pasukan Sunan Kuning.
Di mata para bupati itu, Paku Buwono II harus tetap berada di tempat yang tidak terlalu jauh dengan Kartasura. Mereka khawatir kalau raja berada di Surabaya, rakyat Mataram akan cepat melupakannya dan berpaling memihak ke musuh. Karena itu, Sunan harus berada di dekat rakyatnya.
Hohendorff bisa memahami argumentasi itu. Dia bergegas bertolak ke Surabaya. Perjalanan ke Semarang ditempuh lewat laut. Jalur ini dinilai relatif lebih aman dibandingkan darat. Kapten VOC itu juga berpesan kepada Patih Pringgalaya agar tidak sekali-kali menyerang Kartasura sebelum bantuan dari Kompeni tiba. (laz)