MELIHAT sumber mata air di Desa Sala, calon ibu kota baru Mataram, tidak kunjung tertutup membuat Pangeran Wijil dan Yasadipura menjalankan laku prihatin. Keduanya memutuskan tapa ngebleng selama 7 hari 7 malam. Tidak makan minum dan tidak tidur. Lokasinya berada di selatan Kedung Kol.
Tapa ngebleng merupakan meditasi demi menguatkan permohonan agar mendapatkan petunjuk-Nya. Akhirnya kedua pejabat teras Kerajaan Mataram itu mendapatkan petunjuk berupa wangsit. Sumber mata air itu berasal dari Laut Selatan. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk menyumbar sumber mata air tersebut.
Pertama, gong sekar delima. Kedua, godhong lumbu dan ketiga, sirah taledehek. Dalam wangsit itu dinyatakan jika Dusun Sala telah berkembang, Pangeran Wijil dan Yasadipura hendaknya bertempat tinggal di sebelah selatan Kedung Kol. Wangsit tersebut diperoleh pada Anggara Kasih atau malam Selasa Kliwon 28 Sapar, Jemawal 1669 (1743 Masehi).
Bagi masyarakat Jawa, wangsit atau wisik sebagai petunjuk gaib tidak dapat diterima secara harafiah. Penjabaran secara mentah atau hitam putih akan mengaburkan bahkan mengacaukan makna di balik petunjuk tersebut.
Penafsiran secara sembarangan bersifat gugon tuhon secara tidak rasional atau tidak masuk akal harus dihindari. Menyikapi itu, reasoning atau penalaran langsung dilakukan Sunan Paku Buwono II sebagai pengambil keputusan tertinggi di Kerajaan Mataram. Sunan kemudian mengeluarkan sabda sebagai berikut.
”Tledhek iku tegese ringgit saleksa. Dene gong sekar delima tegese gangsa, lambe iku tegese uni. Dadi watake bebasan kerasan. Gong sekar delima, dadi sekaring lathi, ingkang anggambaraken mula bukane nguni iku Kiai Gede Sala. Saka panimbang iku udanegarane kabener anampi sesirah tledhek arta kehe saleksa ringgit (cendhol mata uwong), mangka liruning kang dadi wulu wetuning desa tekan ing sarawa-rawa pisan.”
”Tledhek” berarti sepuluh ribu ringgit. Gong Sekar Delima berarti “gangsa”, bibir atau ujar (perkataan). Jadi bersifat perumpamaan. Gong Sekar Delima menjadi buah bibir yang menggambarkan asal mula/cikal bakal (desa) yaitu Kiai Gede Sala.
Sunan kemudian memberikan ganti rugi tanah Desa Sala kepada Kiai GedeSala sejumlah 10.000 ringgit. Uang itu dibagikan Kiai Gede Sala kepada penduduk setempat. Pemberian ganti rugi itu disambut gembira. Mereka kemudian bergotong royong menutup sumber air rawa.
Selanjutnya, Kiai Gede Sala bertapa di makam Raden Pabelan atau Kiai Bathang. Di dalam bertapa itu Kiai Gede Sala memperoleh “Sekar Delima Seta” (putih) dan daun lumbu (sejenis daun talas).
Kedua barang tersebut dimasukkan ke dalam sumber mata air (tirta amerta kamandanu). Sesudah itu dilakukan kerja bakti menutup rawa bersama warga Desa Sala. Akhirnya pekerjaan itu selesai dengan cepat.
Lantaran pentingnya penentuan lokasi calon ibu kota Mataram di Desa Sala, Paku Buwono II didampingi Pangeran Wijil dan Yasadipura secara diam-diam melakukan laku prihatin di tengah air rawa tersebut.
Sumber mata air rawa yang ditutup secara gotong royong oleh warga Desa Sala belum benar-benar tertutup. Namun setelah Sunan nenepi di tempat itu barulah sumber mata air itut tersumbat. Sumber mata air di rawa Desa Sala dikenal dengan sebutan mbleng. Kelak lokasi itu menjadi Kampung Gemblegan.
Usai itu, pembangunan calon ibu kota Mataram dimulai. Diawali dengan menguruk tanah yang tidak rata. Lantas dibuat gambar awal dengan mengukur panjang dan lebarnya. Ribuan buruh bekerja di proyek pembangunan itu. Desain umumnya mencontoh model Keraton Kartasura. (amd)