RADAR JOGJA – Selain workshop Sastra Jawa dan Sastra Indonesia, fokus utama Joglitfest 2019 adalah workshop penulisan kreatif. Mulai esai, kritik sastra, penulisan puisi hingga penulisan cerpen.
Workshop tersebut telah dilakukan sejak pra-acara Joglitfest dari pertengahan Agustus 2019 lalu. Dwi Cipta, Raudal Tanjung Banua, Mahfud Ikhwan, Kris Budiman, Joko Pinurbo, dan Indra Tranggono adalah deretan nama-nama penulis yang terlibat di praacara.
Sementara di puncak acara Joglitfest dua workshop digelar. Workshop tata kelola komunitas dan workshop penulisan cerpen.
Workshop Tata Kelola dan Manajemen Komunitas digelar pada Jum’at (27/9) lalu di Ruang Barong Hotel Cavinton Yogyakarta. Kesempatan pertama diberikan kepada Yustina W. Nugraheni mewakili Bianelle Yogyakarta. Bagi Yustina, dalam kerja yang luas komunitas perlu berkolaborasi dengan pemerintah untuk bisa mengakses dana publik.
“Harus diakui, terkait pendanaan, terkadang terkesan meminta uang untuk dana kepada pemerintah. Padahal uang tersebut adalah dana untuk kita. Nah, jelasnya, sejak sekarang harus ada kesadaran dalam diri bahwa dana yang dikelola oleh pemerintah tersebut adalah dana publik, dan kita berhak atas dana tersebut,” papar Neni, sapaan akrabnya.
Sementara Muhidin M. Dahlan dari Indonesia Buku mengatakan, seperti yang dijelaskan dalam kamus, ‘komunitas’ itu sendiri merupakan kelompok organisme (orang) yang hidup dan saling berinteraksi. Komunitas itu sebenarnya adalah kumpulan yang sifatnya organik.
“Hari ini, kita perlu melihat peluang-peluang untuk bisa eksis sebagai komunitas. Contohnya, keberadaan akun Info Seni Yogya,” paparnya.
Sementara itu, Aan Mansyur membicarakan aktivas yang ia geluti bersama rekan-rekannya di Makassar, terutama perihal sumber daya mereka di Ininnawa.
“Di Ininnawa, kami setiap akhir tahun menyelenggarakan pertemuan antarkomunitas. Ininnawa yang kini menjadi Katakerja, terisi oleh komunitas-komunitas lain yang tetap fokus bergerak pada isu transformasi sosial, misalnya mendayagunakan literasi untuk mendekati isu-isu tersebut,” papar Aan.
Di tempat lain, di Ruang Umar Kayam, Benteng Vredeburg, Yogyakarta berlangsung pula workshop penulisan cerpen bersama Agus Noor.
Dalam workshop tersebut Agus Noor berbagi beberapa tips penting ketika penulis cerpen agar tidak kehabisan ide. Bagi Agus, ide cerita bisa datang dari mana saja. Kuncinya adalah penulis mau membuka indera mereka selebar-lebarnya untuk terus menerima dinamika kehidupan sekitar.
“Ide bisa datang dari apa yang kita lihat, dengar, rasakan, alami. Kalau saya, ide bisa datang ketika menonton berita,” ujar Agus.
Teori tiga kata, yakni membangun cerita berdasarkan satu kata sebagai titik poin dan dua kata lain untuk membangun cerita, adalah cara yang digunakan untuk mewujudkan ide yang sudah muncul menjadi cerita utuh.
Agus kemudian menawari pembaca untuk membangun cerita dari kata “pisau” sebagai titik berangkat dan “bulan” serta “kuburan” sebagai pendamping.
Fahrudin, seorang guru yang hadir dalam workshop itu, kemudian membuat cerita tentang pisau yang dikubur bersama penjahat. Setiap muncul bulan, pisau itu akan kesakitan. Karena itu, sang pisau ingin sekali keluar dari dalam tanah untuk membelah, melukai, dan menghancurkan bulan agar tidak muncul lagi.
“Intinya, cari kata yang membuat Anda mengimajinasikan tentang sesuatu yang jauh. Lalu, cobalah berpikir dengan berbeda. Aktifkan indera untuk menyerap situasi yang ada di sekitar,” saran Agus. (*)