RADAR JOGJA – Jika ditanya mengenai perilaku konsumtif, bisa dibilang perempuan menduduki kursi utama dibandingkan kaum pria. Dalihnya butuh, namun ternyata berbelanja hanya berdasarkan keinginan memiliki saja. Nah, ujung-ujungnya kantong bolong sebelum tanggal gajian tiba.

Pengeluaran yang masuk kategori ”penting nggak penting” menjadi salah satu faktor yang memengaruhi beban bulanan. Misalnya saja, membayar keanggotaan di gym padahal dalam satu bulan mungkin hanya datang satu atau dua kali dengan alasan tak ada waktu.

Juga membayar paket data yang melebihi kuota karena kebutuhan eksis di media sosial (medsos) cukup tinggi. Belum lagi jatah make-up dan perawatan badan yang ujung-ujungnya menumpuk di atas meja rias karena belum sempat digunakan semua serta masih banyak lagi contoh lainnya.

Lalu bagaimana pendapat ahli terkait perencanaan finansial yang belum diterapkan dengan baik oleh kaum perempuan kebanyakan?

Dikutip ulang dari For Her Radar Jogja, seperti diungkapkan oleh Guru Besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM Prof Mudrajad, PhD, perilaku konsumtif memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, terutama perempuan. Menurutnya, peranan konsumsi di Jogja sendiri sudah mencapai 70 persen.

”Ini jelas menjadi problematika bagi masyarakat terutama yang gampang silau dengan barang-barang yang bukan jadi kebutuhan utama mereka,” jelasnya ditemui belum lama ini.

Salah satu solusinya adalah mengetahui skala prioritas mana yang lebih penting dan mana yang tidak penting. Selain itu mereka harus meminimalisasi demonstration effect yang dibawa oleh masyarakat sekitar sendiri.

Contohnya, ketika tetangga mempunyai barang merah, tas branded atau motor baru, seketika akan ikut membelinya juga karena merasa belum pernah memilikinya. Dampak baiknya dari perilaku tersebut, masyarakat membantu menggerakkan ekonomi di Jogjakarta. Namun yang harus disadari, perilaku tersebut juga dapat memberikan dampak negatif. Seperti tidak terkontrolnya keinginan membeli tas branded terbaru, padahal sudah mempunyai lima atau lebih yang juga jarang dipakai.

Dampaknya mereka akan melupakan keperluan lain yang harus dibayarkan seperti listrik, kebutuhan dapur, biaya sekolah anak, atau biaya yang dirasa harus diutamakan dibandingkan belanja barang-barang tersebut. Nah, oleh karena itu, masyarakat harus lebih pintar lagi untuk memilah dan memilih apa yang menjadi kebutuhan utama atau kebutuhan pilihan mereka.  ”Jangan sampai berapapun penghasilan yang didapat habis seketika karena pengeluaran yang sangat besar, harus mengetahui betul skala prioritasnya,” tutupnya. (ila)