RADAR JOGJA – Validitas data warga miskin menjadi perhatian serius Komisi D DPRD Kabupaten Sleman. Sebab, hal itu erat kaitannya dengan penganggaran jaminan kesehatan oleh pemerintah daerah. Bagi penerima bantuan iuran jaminan kesehatan nasional (PBI-JKN) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

KETUA Komisi D DPRD Kabupaten Sleman Muhammad Arif Priyosusanto mengatakan, pada 2020 jaminan kesehatan seluruh warga miskin harus ter-cover BPJS. Karena secara hakikat seluruh warga negara Indonesia wajib menjadi peserta BPJS.

Di penghujung 2019 ini pemerintah pusat mewacanakan kenaikan tarif iuran BPJS. Lantas muncul opsi bahwa kenaikan tarif hanya berlaku untuk kelas 1 dan 2. Kendati demikian, komisi D masih menunggu ketok palu dari pusat. Ihwal kepastian kebijakan iuran BPJS untuk jaminan kesehatan kelas 3.

Sebagaimana diketahui, jaminan kesehatan warga miskin PBI masuk golongan kelas 3. Hanya iurannya ditanggung oleh pemerintah. Sedangkan kenaikan iuran PBI ditanggung APBN dan APBD. Mengingat data warga miskin yang dulu di-cover jaminan kesehatan daerah (jamkesda) maupun jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) telah terintegrasi pada BPJS. “Kepastian naik atau tidaknya iuran BPJS kelas 3 itu kan berpengaruh terhadap anggaran pendapatan dan belanja (APBD) Sleman,” jelas Arif kemarin (18/11). “Karena iuran PBI dibebankan pada APBD. Itu ‘PR’ kami terkait alokasi anggaran PBI pada APBD 2020,” sambungnya.

Saat ini APBD Sleman 2020 telah disepakati oleh pemerintah daerah dan DPRD. Hanya tinggal menunggu registrasi di Pemerintah Provinsi DIJ. Nah, alokasi iuran PBI pada APBD Sleman 2020 disesuaikan dengan asumsi setelah kenaikan. Perencanaan awal mencapai lebih dari Rp 38 miliar. Untuk 137.318 jiwa. “Dewan setuju dengan alokasi itu. Bahkan ditambah lagi setelah sinkronisasi. Itu demi terjaminnya kesehatan warga miskin di Sleman,” tuturnya.

Jika iuran jaminan kesehatan kelas 3 tak jadi naik, lanjut Arif, berarti akan ada sisa anggaran. Sisa lebih perhitungan anggaran (silpa) tersebut akan digunakan lagi untuk membayar iuran BPJS tahun berikutnya.

Menurut Arif, di Sleman masih ada lebih dari 35 ribu kepala keluarga (KK) miskin. Kendati demikian, data tersebut masih perlu disinkronisasi ulang. Dia minta pemerintah daerah rutin melakukan up date data miskin. By name, by address. Untuk mengetahui jumlah riilnya. “Yang paling penting itu. Kepastian data miskinnya,” ujar politikus Partai Gerindra itu.

Seiring kenaikan iuran PBJS, Arif mendorong perlunya evaluasi sistem jaminan kesehatan. Khususnya mekanisme rujukan. Menurutnya, sistem rujukan terlalu birokratif. Akibatnya, hanya puskesmas dan rumah sakit tipe C atau D kebanjiran pasien. Sementara kesiapan sarana kesehatannya sangat terbatas. Sebaliknya, rumah sakit tipe B yang lebih lengkap justru kekurangan pasien. “Sistem rujuan itu perlu dievaluasi. Jalur birokrasinya harus dipangkas. Supaya pasien lebih cepat mendapatkan penanganan medis,” tegasnya.

Selain itu, Komisi D mendorong BPJS segera menuntaskan tunggakan tagihan di rumah sakit pemerintah. Jika perlu hal itu harus ada campur tangan pemerintah daerah. Untuk menangani masalah yang dihadapi BPJS.

Arif juga berharap adanya perluasan fungsi jaminan kesehatan nasional. Karena itu program nasional, kata Arif, seharusnya berlaku nasional juga. Faktanya, pasien harus mengikuti alur birokrasi sesuai fasilitas kesehatan yang ditunjuk. “Ini urusannya kan nyawa. Seharusnya kepesertaan BPJS itu ya bisa berlaku di mana saja,” usulnya.

Dengan begitu, tiap peserta BPJS yang sakit saat bepergian ke luar daerah domisilinya tetap bisa memanfaatkan jaminan kesehatan nasional (JKN). Untuk berobat, di mana pun dia berada. Cukup dengan menunjukkan kartu Indonesia sehat (KIS).(*/yog)